bukan hanya perawat di Jepang

bukan hanya perawat di jepang
oleh: Aslan z

Saat tsunami datang, saya naik ke lantai tiga rumah sakit, disana kami saling berpegangan tangan, perawat di samping yang asli Jepang, meratap; duh anakku.., rumahku…, bagaimana keselamatan mereka semua. Seluruh bersedih diterkam cemas. Yang mengagumkan, ketika tsunami mulai reda, perawat yang mengkhawatirkan anak dan rumahnya tadi, bergerak sigap ke lantai bawah rumah sakit untuk membantu pasien yang berada di sana, agar berpindah, naik ke lantai atas. Luar biasa, sebuah pelajaran berharga aku dapatkan dari tanggung jawab perawat di rumah sakit itu, memilih konsisten pada tugas sebagai perawat ketimbang mencari tahu bagaimana nasib anak-anaknya. Keselamatan pasien lebih utama. Betul-betul pelajaran berharga yang tak bisa diperoleh dari sekolah perawat manapun. Teladan utuh profesionalisme dan etika kerja penuh budi.

Demikian kurang lebih penuturan Rita, seorang WNI yang berprofesi sebagai perawat di sebuah rumah sakit di Jepang kepada Metro TV (acara metro siang bertajuk: Berita dari Jepang, siang tadi). Pengabdian, ketabahan dan yang paling utama adalah rasa malu telah membuat warga Jepang tak ingin merugikan siapapun yang berada di sekitar, inilah alasan sehingga tak ada penjarahan harta orang lain, walau senyatanya, itu mudah dilakukan di tengah kondisi seperti itu.

Kita pemirsa di tanah air, kagum pada kebesaran jiwa rakyat Jepang menghadapi bencana gempa bumi dan tsunami yang menelan korban jiwa dan harta benda. Terkadang memang, nilai kearifan akan merekah kala berjumpa dengan momen-momen sulit, pada peristiwa alam yang tak biasa. Orang memilih berlaku sebagai benteng penjaga kebajikan, sungguh bukan perkara mudah, sebuah sikap yang mensyaratkan pendalaman dan kesetiaan pada makna ikhlas dan berbagi.

Dengan sedikit kritis, apa benar teladan begitu hanya milik waga Jepang? Hanya ada pada perawat atau tenaga kesehatan asal Jepang? Sebegitu kurangkah perbendaharaan teladan di tengah tenaga kesehatan kita?

Saya tak begitu yakin, saya terkenang pada kisah seorang perawat/ paramedis di sebuah puskesmas di pulau Buton Sulawesi Tenggara, ia kebetulan bertugas dalam pemberantasan penyakit menular (kusta).

Seperti kita ketahui, penderita kusta relatif dijauhi oleh masyarakat, jadi momok mengerikan, rasanya bisa dihitung jari, berapa orang yang ‘berani’ mendekati pasien kusta apalagi sampai berakrab-ria. Tapi tidak bagi sang paramedis, suatu ketika, seorang penderita kusta di wilayah kerja puskesmasnya, tak berminat berobat lagi, menjauh, ia menutup diri, malu dengan kondisi tubuhnya, penampakan fisik yang nyata akibat penyakit telah membuat penduduk di kampung mengucilkan. Bukan itu saja, keluarga dekatnya pun menyingkir, ia dibuang. Orang-orang bukan sekadar takut, melainkan telah sampai, merasa jijik saat bertemu dengan si penderita. Hanya isteri penderita, setia menemani di gubuk mereka.

Walhasil apa yang dilakukan paramedis? Ia datang ke rumah itu, didapatinya pasien mengurung diri dalam kelambu. Setelah minta izin pada isteri pasien, ia pun diperbolehkan masuk ke dalam kelambu.

Pasien kaget bukan kepalang, ia bergerak menjauh ke sudut ranjang, sang paramedis menggunakan cara persuasif, namun tetap saja pasien menganggap betapa semua orang jijik padanya, kulitnya tak seperti manusia normal, dirinya lebih hina dari kotoran terbusuk, ia kehilangan percaya diri. Selang beberapa lama, paramedis menempuh cara lain, ia meminta agar isteri pasien menghidangkan makanan.

Sejurus berlalu, makanan terhidang, paramedis lalu meminta pasien agar makan, pasien menurut. Di saat pasien sedang asyik makan, si paramedis ini minta izin agar bisa makan di rumah itu. Sungguh kaget si pasien, apa berani makan di rumah saya? Apa bapak tidak jijik? Pasien memanggil isterinya agar menyiapkan makanan. Tapi sungguh tak disangka petugas itu berkata, tak usah bu, saya makan bareng bapak saja, selepas itu, ia mendekat ke piring pasien. Akhirnya, mereka makan sepiring berdua, paramedis dan pasien kusta.

Sungguh terbukti, perbuatan lebih bertenaga ketimbang kata-kata. Pasien menangis tersedu-sedu, bahwa masih ada orang yang tidak jijik padanya, sejak saat itu, ia bersedia berobat dan menemukan keberanian baru.

Masih tentang kisah paramedis tadi, ketika seorang penderita kusta yang lain, meninggal dunia, kegaduhan muncul di antara perangkat masjid, mereka saling menunjuk, sebab tak seorang berani mulai memandikan jenazah. Si paramedis kebetulan melayat, dan tanpa diminta, ia mengambil alih tugas; memandikan dan mengurus segalanya, termasuk ikut memasukkan jenazah ke liang lahat.

Kisah itu barangkali terlalu sederhana, sama seperti kisah ketegaran tenaga kesehatan yang lain, bertahan di sebuah pulau, hanya untuk mengobati kampung yang terserang diare, atau kisah seorang kawan, yang kemudian harus berakhir meninggal, dengan komplikasi malaria otak, sebab bertugas di daerah endemik malaria.

Jadi kiranya, bukan hanya perawat di Jepang yang layak memperoleh apresiasi, tapi juga perawat-perawat kita di tanah air. Dengan peralatan seadanya, gaji pas-pasan, masih mampu berbuat lebih, bagi sesama.

pernah dimuat di:www.kompasiana.com

Baca Selengkapnya......

Mungkinkah Mengaplikasikan Filosofi Semut Dalam Manajemen Pembangunan Kesehatan?


Oleh : Aslan S.Ked
Tesis awal yang mestinya menjelma sebagai titik tekan ialah tak ada sesungguhnya keanehan di alam ini, ia sekedar rangkaian mekanisme yang antara satu dengan yang lain bertaut erat, sekecil apapun itu niscaya memiliki keterkaitan dengan hal lain di alam ini, terlepas dari cara kita memaknai (memandang)


Pun boleh jadi sesungguhnya; kita menisbatkannya sebagai ‘aneh’ atau gila sebagai pengakuan tak langsung kita, betapa terbatasnya pengetahuan dan pengalaman hidup kita. Usia bumi sebagai satu noktah kecil di jagad ini bila hendak dibandingkan dengan usia manusia sebagai satu spesies, ternyata lumayan tua.
Ada banyak pelajaran besar yang bisa kita reguk dari bumi beserta unsur-unsur penyusunnya. Mulai dari angin yang tak lelah bertiup, laut yang luar biasa (inipun masih dapat kita telaah apakah sebagai gelombang laut, arus pasang surut atau potensi yang lain) ternyata berperan besar dalam proses transfer energi bagi segenap biota, atau gerak lempeng jauh di dasar bumi yang ternyata tak pernah diam bergerak guna eksisnya kehidupan di planet, dan masih banyak tak berhingga sumber belajar yang melimpah.

Semut sebagai sumber belajar dan pembanding, ditilik dari mekanisme kerja organisasional mereka, memang menyediakan nilai berharga yang terkadang kita sadari atau tidak, berfaedah dalam proses akselerasi dan pengembangan kinerja organisasi. Sejatinya tak ada yang baru dari organisasi semut, baik itu kerjasama kelompok maupun individu yang gesit; manusia telah jauh hari mengenal pola-pola itu. Katakanlah misal seperti pembagian tugas tiap-tiap semut untuk terus mencari sumber makanan baru bagi kelompok, telah lama kita kenal baik sejak zaman dulu apalagi sekarang, hanya memang ada aspek tertentu yang mulai lapuk di dalam organisasi manusia seperti lenyapnya ‘sense of belonging’ padahal itu prasyarat pokok dari kemajuan, ada kecenderungan bagi tiap pekerja dan elemen organisasi lainnya bahwa pekerjaan dan tugas yang menjadi tanggung jawab mereka dalam institusi kerja berhenti hanya sebatas tunainya tugas. Kita belum lagi mengakui bahwa institusi tempat kita bekerja adalah bagian dari ‘kedirian’ kita, sesuatu yang tak boleh lepas dari intensitas penghayatan hidup, ini penting, kenapa? Bukan saja karena kita dan institusi/organisasi tadi punya relasi erat dengan diri kita tetapi lebih dalam dari itu ialah dengan bekerja kita mengalami rasa bermakna. Nah, kebermaknaan ini bila dikelola dengan sempurna niscaya akan menjelma energi besar yang bahkan manfaat yang akan diperoleh bisa membuat kita tercengang.
Kasus negara India yang menunjukkan gelagat bakal tampil sebagai salah satu pilar ekonomi Asia bersama-sama dengan Jepang, Cina dan Korsel, menjadi bukti, betapa sebuah kemajuan hanya mampu dicapai bila dimulai dengan melakukan gerakan penyadaran. Kontinuitas penyadaran tadi harus terus menerus dipromosikan dan disegarkan. Atau kita juga dapat meneropong Jepang sebagai contoh betapa suatu masyarakat yang mempunyai etos kerja dan tak kenal mundur akan menuai hasil dalam berbagai bidang. Selalu sulit memang, untuk memisahkan antara kemajuan institusi baik dalam lingkup terbatas atau lebih besar, dengan bangunan keyakinan plus nilai yang dijadikan patron dalam pola interaksi.
Di titik ini, setidaknya pelajaran tentang semut bisa menjadi saat ‘jeda’ bagi kita untuk merenung betapa semut yang kecil, dalam organisasi mereka telah menerapkan prinsip pembagian kerja dan tiap elemen berupaya untuk mencari dan membentuk rantai pasok bagi keberlangsungan organisasi yang lebih besar. Kegigihan mereka dalam membangun jaringan kerja dan selalu menggunakan informasi terdahulu (satu ekor semut yang mendapati sumber makanan akan mengajak kawan yang lain untuk bekerja bersama) menyadarkan bahwa kita belum maksimal dalam berusaha; dimana ada jurang antara tujuan organisasional dengan tujuan individual, padahal idealnya keduanya saling mendukung, artinya yang satu menjadi tiang penyokong bagi yang lain, tentunya disesuaikan dalam batas-batasnya.
Dalam bidang kesehatan, pelajaran yang diperoleh dari semut, penting diterapkan. Semut bekerja dengan mengandalkan kegesitan individu, dalam tujuan besar eksisnya kelompok atau kumpulan semut. Ini menarik, apalagi di bidang kesehatan, memang mensyaratkan keterpaduan antara berbagai elemen pendukung; mulai dari pelaksana teknis di lapangan hingga ke meja-meja para pengambil kebijakan. Dalam prakteknya, gagalnya suatu program besar kesehatan terjadi hanya karena tidak ada koordinasi antara berbagai komponen yang terlibat. Intelijensi kerumunan, pengembangan jaringan dan intangible asset adalah kekayaan berharga jika dan hanya jika dikelola dengan profesional. Jadi penanaman rasa memiliki dan tanggung jawab pada seluruh komponen niscaya akan mencipta suatu perubahan besar bagi pelayanan kesehatan secara makro. Dalam prakteknya, kita menjumpai berbagai egoisme sektoral, yang satu menganggap diri lebih paham persoalan lalu kemudian memaksakan keinginannya tanpa tahu pasti problem utuh yang dihadapi.
Menyediakan waktu untuk menerapkan hikmah dibalik karya semut, setidaknya akan memberi pencerahan baru dalam pengelolaan kesehatan secara global di negeri kita. Pun di sini kita akan bersua dengan sejumlah problem klasik yang memang harus dicarikan solusi, katakanlah dari semut kita melihat adanya pembagian hasil kerja yang adil setelah masing-masing individu berkarya. Artinya tema tentang kesejahteraan juga patut menjadi titik api konsentrasi, itu bila gambaran dari kinerja profesionalisme ingin eksis, aplikasi keilmuan dari tenaga kesehatan akan lebih maksimal bila telah ada kemerdekaan secara ekonomi dan finansial, agar tenaga kesehatan bisa optimal dalam berkarya. Kemudian penyusunan kebijakan juga mesti mewadahi segenap aspirasi dengan tetap mendasarkan diri pada analisa kebutuhan yang logis rasional. Poin-poin ini merangkum pula hal-hal seperti penyusunan anggaran, pelaksanaan program, kontrol dan evaluasi, dengan tidak menihilkan peran masyarakat sebagai yang paling berkepentingan.
Pelajaran tentang pengembangan jaringan dari ‘teori semut’ menyentak kita untuk sesegera mungkin menjalin koneksi dengan semua elemen lain termasuk media massa dan kelompok organisasi lain demi maksimalnya pelayanan kesehatan. Selain itu pelayanan kesehatan sedapat mungkin dapat menempatkan manusia sebagai manusia, sebuah teropong utuh tentang bagaimana menghargai kemanusiaan dan kehidupan. Ini bermakna bahwa selalu ada relasi antara berbagai hal di muka bumi ini, mustahil kita berbicara kesehatan jika : “lingkungan rusak, kemiskinan sistemik yang semakin menjadi-jadi, korupsi sebagai penyakit mental, hubungan pergaulan hidup masyarakat yang semakin mengenaskan dan lain sebagainya”.
Menilik dan mengembangkan bidang kesehatan dengan mengambil hikmah dari ‘perilaku semut’ menyadarkan kita betapa senantiasa ada proses saling membutuhkan antara satu variabel dengan variabel lain dalam hidup ini.


Baca Selengkapnya......

Untuk Negeri yang Hampir Bangkrut


Untuk Negeri yang Hampir Bangkrut
(dokter Soetomo dalam jejak sejarah)
Oleh : Aslan S.Ked*

Seratus tahun lalu, di suatu hari 20 Mei 1908, anak-anak muda, mahasiswa STOVIA (School tot Opleiding van Inlandsche Artsen) atau sekolah untuk pendidikan dokter bumiputera, bersepakat mendirikan Boedi Oetomo, tanggal tadi kemudian didaulat sebagai penanda bangkitnya kesadaran berbangsa.
Kita yang lahir jauh hari setelah peristiwa itu mungkin tergerak mengajukan tanya; apakah keseriusan mencemplungkan diri pada spirit sebagai satu bangsa ialah hal, yang rigid kaku ataukah, dinamis berproses sesuai kebutuhan zaman? Ini begitu penting diungkap, kala sejumlah syarat bagi kolapsnya negara bangsa telah dimiliki Indonesia.
Sejarah bertutur bahwa ketika terjadi kejumudan dalam lengkung waktu tertentu di tanah air, maka kaum muda selalu menjadi pemecah kebekuan dengan menawarkan solusi. Tentu lompatan berpikir segelintir kaum muda terdidik pada masa itu (thn 1908) tak lepas dari keberanian untuk menjadi “beda” dengan kecenderungan sekitar di tanah jajahan.

Bisa dibayangkan, Soetomo kala itu baru berusia 20 tahun. Tapi kehendak berhimpun dan bekerja bagi kepentingan orang banyak, ternyata cukup menggoda. Di sela kegiatan pendidikan dokter di Stovia, para mahasiswa pribumi yang beruntung tadi, masih sempat juga, memikirkan satu organisasi modern yang bercita-cita.
Alur hidup Soetomo baik sebagai mahasiswa, sebagai dokter rakyat, aktifis pergerakan maupun sebagai intelektual profesional, memang menarik diperbincangkan. Persis selepas menuntaskan studi, seperti yang dapat dibaca pada Jurnal Ebers Papyrus (Vol 3 No.1 thn 1997), Soetomo melakoni hidup berpindah-pindah dari satu daerah ke daerah yang lain, pernah bekerja di Lubuk Pakam, kota kecil dekat Medan, kemudian berturut-turut pindah ke Malang, Kepanjen, Magetan dan Blora. Di rumah sakit Blora inilah ia berjumpa dengan calon istri, seorang suster Belanda. Semasa bertugas di Sumatera Selatan, ia sekolah kembali ke negeri Belanda lalu melanjutkan spesialisasi ilmu penyakit kulit dan kelamin di Hamburg Jerman.
Sepulang dari luar negeri, Soetomo melibatkan dan mengabdikan diri bagi kepentingan rakyat kecil, selain itu masih sempat pula menulis sejumlah karya ilmiah bagi kepentingan pengembangan ilmu pengetahuan. Pertanyaan selanjutnya kini, masihkah negeri ini punya stok anak bangsa seperti Soetomo? Seorang profesional cendekia, teguh komitmen dan berbuat positif untuk kemanusiaan.
Betapa kita terusik dengan kenyataan bahwa perubahan penting di negeri kita senantiasa distimulus oleh kaum muda. Jejak sejarah seperti itu yang mestinya dihamparkan untuk kemudian dijadikan acuan bahwa sudah saatnya kepemimpinan dikembalikan ke tangan kaum muda belia. Apalagi di tengah kegelisahan bangsa dengan kebijakan ‘sesat’ penyelenggara negara yang melecehkan kehendak real rakyat, semisal kebijakan di dunia ekonomi, pendidikan, kesehatan dan budaya yang menempatkan rakyat sekedar sebagai ‘penderita’ yang ‘terpaksa dan dipaksa’ menerima kehendak negara, yang senyatanya tak berpihak pada mereka. Kepemimpinan kaum muda, tentu tersusun dari himpunan energi kreatif, mengingat kaum muda demikian bertenaga dan belum begitu ‘ternoda’ dibanding mereka yang telah terbukti menebarkan petaka di negeri kita.
Di tengah kelelahan massal yang menimpa negara dan bangsa kita, belajar dan berkaca pada semangat kaum muda di setiap momen perubahan negeri memang mendesak dilakukan. Betapa anak-anak bangsa seperti Soetomo dkk, jauh-jauh hari telah berbuat sesuatu untuk generasi setelah mereka.
Pertanyaan susulan yang lain adalah kenapa pendidikan kolonial berhasil melahirkan dokter seperti Soetomo, Wahidin Sudirohusodo, Tjipto Mangunkusumo dsb, yang serius mengabdikan waktu, diri dan pikiran demi kepentingan rakyat. Bahkan output pendidikan kolonial, seperti dokter Soetomo dalam keseharian, ketika praktek, sekedar meletakan kotak kosong (celengan) di pintu keluar ruang prakteknya, dan terserah pasien untuk membayar berapa jasa pak dokter. Soetomo tak mengharuskan pasien untuk membayar dengan patokan tarif tertentu, apalagi sampai memeras pasien demi memperkaya diri. Sementara fakta, Soetomo ialah alumni dari lembaga pendidikan pemerintah penjajah dengan guru-gurunya orang Belanda, sungguh jauh misalnya dengan sekarang, para dokter kita dididik oleh perguruan tinggi bangsa sendiri, dibekali dengan pelajaran moral, pancasila, agama, etika kedokteran dan macam-macam muatan kurikulum lainnya, tetapi masih saja ada oknum tertentu yang berbuat melampaui, walau kita jelas tak dapat menutup mata, betapa di negeri ini, masih melimpah banyak dokter yang betul-betul dokter bermoral. Sekedar bahan kontemplasi; ironi tadi menerbitkan kekhawatiran tersendiri di tengah kehidupan berbangsa.
Kurikulum pendidikan ala pemerintah Belanda kala itu, walau diskriminatif, namun paling tidak telah melahirkan selapis tipis kaum muda terdidik yang punya kesadaran kemanusiaan yang tinggi, generasi tadilah; hasil kurikulum penjajah berhasil mencetak orang-orang seperti Soetomo, Soekarno, Hatta, Agus Salim, Tan Malaka, Sjahrir, Muh.Yamin, Radjiman Wedyodiningrat dan masih banyak lagi kaum intelektual terdidik tercerahkan yang lahir dari model pendidikan kolonial. Jika saja kaum muda terdidik ini tak tersedia, mustahil negeri ini dapat merdeka. Kemampuan mereka mengagumkan, selain penguasaan bahasa asing yang dimiliki (Inggris, Belanda, Arab, Rusia dsb) mereka juga punya sikap sebagai negarawan yang berpikir dan bekerja ikhlas. Suatu atribut yang jarang di tanah kita, lahirnya pemimpin negeri yang bekerja serius sepenuh jiwa bagi kebaikan sesama. Atau mungkin Soekarno mulai benar dalam pleidoi (pidato pembelaan) “Indonesia Menggugat”, saat dia diadili di depan pengadilan kolonial, bahwa penjajahan bukan saja didominasi bangsa kulit putih atau orang Eropa saja, namun ia dapat pula dilakukan oleh bangsa mana saja termasuk oleh kita yang berkulit sawo matang. Selepas berpuluh-puluh tahun setelah itu, kondisi negeri seolah menjadi pembenar atas itu.
Dan mengapa pendidikan di zaman Belanda, sanggup menyumbangkan lahirnya kaum tercerahkan? Sungguh kontradiktif dengan keadaan pasca 100 tahun kebangkitan nasional, di saat lembaga pendidikan bertaburan dimana-mana, namun sungguh sukar, kita bersua dengan kaum terdidik tercerahkan.

*anggota BHC


Baca Selengkapnya......

Bau-Bau Wajib Berbenah ?


Oleh : Aslan S.Ked*
Bau-bau hendak menawarkan apa bagi wisatawan asing atau domestik yang bertandang ke daerah ini? Benteng keraton Buton, Pantai Nirwana atau apa? Kita hendak bertanya, bahwa niat untuk menarik kunjungan turis, bukan sesuatu
yang serta merta akan mendongkrak angka kunjungan. Niat saja jelas tak cukup, setidaknya ada sejumlah item mendesak dibenahi, semisal kebersihan kawasan wisata dan penataan apik secara natural telah menjadi kebutuhan penting,
Kita akan mengurut dada jika berkunjung ke lokasi seperti pantai Nirwana yang semrawut, sampah berserakan bukan saja di pinggir jalan, namun bahkan di sekitar tempat berenang, pecahan botol dan sampah plastik dll kerap dijumpai, terus tak nampak usaha pelestarian terhadap pepohonan yang tumbuh di sekitar.

Saat berada di pantai Nirwana, tak jelas, siapa pengelola pantai, sarana pendukung kompleks wisata yang mestinya ada tak tersedia, keamanan pun tak terjamin, tak sedikit di sore hari kita akan bertemu dengan orang yang pesta miras. Dengan begitu, strategi penggenjotan pembangunan wisata seperti apa yang tengah kita bangun? Sungguh para turis yang datang kehilangan berbagai momen keindahan yang dapat di abadikan sebagai kenang-kenangan. Padahal lazimnya dalam pemasaran pariwisata modern, para penyedia layanan semakin dituntut untuk menyuguhkan kenyamanan yang tak didapati di daerah lain, para wisatawan yang berkunjung bukan hanya ingin menghabiskan waktu luang saja, namun juga hendak menikmati segala yang khas dari pantai tropis di Bau-Bau, ya.. mereka ingin membeli suasana. Sama seperti ketika kelas menengah di kota besar rela membayar mahal untuk segelas kopi di café-cafe yang terletak di tengah mal atau pusat perbelanjaan kota. Mereka berani membayar mahal untuk suasana yang berbeda tadi. Trend manusia modern cenderung bergerak untuk menikmati detail dan kesempurnaan rasa, itulah alasan mengapa tak sedikit yang rela menghabiskan uang untuk hal-hal yang belum pernah atau jarang mereka saksikan.
Keprihatinan serupa terlihat pula di benteng keraton Buton, sebagai situs budaya peninggalan kesultanan Buton, menyisakan sejumlah kekhawatiran, terutama pada kegiatan renovasi yang terkesan berlebihan dan tak dibutuhkan, bagi upaya pelestarian situs sejarah yang benar-benar otentik, penambahan taman dengan aneka ragam patung, rumah-rumahan dan atribut lain pada halaman depan benteng, sepanjang jalur jalan mendaki, mulai dari lokasi ‘Jaraijo’ ke bawah hingga masuk pada pintu gerbang utama; berdampak pada kekhawatiran serius betapa, kita tanpa sadar telah merusak keaslian situs ini, parahnya lagi, aksi ini diklaim sebagai upaya untuk mempercantik benteng. Menanam pohon boleh saja, bahkan dianjurkan, namun menambahkan sejumlah bangunan yang tidak perlu justru telah mengaburkan otentisitas sejarah yang sekuat tenaga kita jaga dan pelihara.
Hal yang menimpa benteng Keraton Buton, seperti keteledoran menimbun areal dalam benteng pada beberapa titik, menimbulkan kesan bahwa tinggi tembok berkurang, atau penutupan halaman depan Mesjid Agung dengan paving blok, kawasan tiang bendera ’Kasulaana Tombi’ yang ditutupi semen, hingga pembangunan tempat parkir di sekitar Mesjid Agung, adalah tindakan yang mempertontonkan kelucuan kita dalam menjaga situs sejarah yang amat monumental ini. Mestinya sebagai peninggalan leluhur, sedapat mungkin kita jangan menambahkan sesuatu yang dapat merubah wajah aslinya. Saya pikir, ketika keaslian Benteng termasuk rumah-rumah dalam benteng diusahakan tetap terbuat dari kayu misalnya, niscaya akan menjadi magnet bagi wisatawan yang ingin menyaksikan dari dekat peninggalan sejarah tadi.

*anggota BHC


Baca Selengkapnya......