BERLATIH UNTUK BERPIKIR POSITIF

| 0 komentar

BERLATIH UNTUK BERPIKIR POSITIF
Oleh: FITRI ENDANG*

Semua orang yang berusaha meningkatkan diri dan ilmu pengetahuannya pasti tahu bahwa hidup akan lebih mudah dijalani bila kita selalu berpikir positif. Tapi, bagaimana melatih diri supaya pikiran positiflah yang 'beredar' di kepala kita, tak banyak yang tahu. Oleh karena itu, sebaiknya kita kenali saja dulu ciri-ciri orang yang berpikir positif dan mulai mencoba meniru jalan pikirannya.

1. Melihat masalah sebagai tantangan
Bandingkan dengan orang yang melihat masalah sebagai cobaan hidup yang terlalu berat dan bikin hidupnya jadi paling sengsara sedunia.

2. Menikmati hidupnya
Pemikiran positif akan membuat seseorang menerima keadaannya dengan besar hati, meski tak berarti ia tak berusaha untuk mencapai hidup yang lebih baik.

3. Pikiran terbuka untuk menerima saran dan ide
Karena dengan begitu, boleh jadi ada hal-hal baru yang akan membuat segala sesuatu lebih baik.

4. Mengenyahkan pikiran negatif segera setelah pikiran itu terlintas di benak.
'Memelihara' pikiran negatif lama-lama bisa diibaratkan membangunkan singa tidur. Sebetulnya tidak apa-apa, ternyata malah bisa menimbulkan masalah.

5. Mensyukuri apa yang dimilikinya.
Dan bukannya berkeluh-kesah tentang apa-apa yang tidak dipunyainya.

6. Tidak mendengarkan gosip yang tak menentu.
Sudah pasti, gosip berkawan baik dengan pikiran negatif. Karena itu, mendengarkan omongan yang tak ada juntrungnya adalah perilaku yang dijauhi si pemikir positif.

7. Tidak bikin alasan, tapi langsung bikin tindakan.
Pernah dengar pelesetan NATO (No Action, Talk Only), kan? Nah, mereka ini jelas bukan penganutnya.
8. Menggunakan bahasa positif. maksudnya, kalimat-kalimat yang bernadakan optimisme, seperti "Masalah itu pasti akan terselesaikan", dan "Dia memang berbakat".

9. Menggunakan bahasa tubuh yang positif di antaranya adalah senyum, berjalan dengan langkah tegap, dan gerakan tangan yang ekspresif, atau anggukan. Mereka juga berbicara dengan intonasi yang bersahabat, antusias, dan 'hidup'.

10. Peduli pada citra diri.
Itu sebabnya, mereka berusaha tampil baik. Bukan hanya di luar, tapi juga di dalam.


*ANGGOTA BHC, FAKULTAS KEDOKTERAN GIGI UNHAS

Baca Selengkapnya......

Gizi Buruk, Statistik atau Empirik?

Masalah gizi buruk masih dialami oleh anak-anak di berbagai tempat di Indonesia dari tahun ke tahun. Ini menjadi potret buruk pemenuhan kebutuhan mendasar bagi masyarakat Indonesia.
Gizi buruk menjadi perhatian masyarakat ketika media mengangkat kasus-kasus meninggalnya anak-anak di banyak daerah karena malnutrisi. Bagaimana pendekatan penanganannya oleh Pemerintah dan masyarakat?
Pengurangan jumlah penderita malnutrisi menjadi salah satu target Tujuan Perkembangan Milenium (Millenium Development Goals atau MDGs). Indonesia berkomitmen untuk mengurangi hingga setidaknya tinggal 18% penduduk yang mengalami malnutrisi pada tahun 2015, di mana angka tahun ini masih 28%, sementara pelaksanaan MDGs tahun ini sudah memasuki periode sepertiga terakhir.
Program perbaikan gizi masyarakat dalam beberapa tahun ini sudah masuk dalam program tugas wajib Pemerintah Daerah. Namun bagaimana pelaksanaannya di lapangan?
Pada awal tahun 2008 ini, kasus gizi buruk kembali mengemuka. Dilaporkan antara lain di Trenggalek, Jawa Timur; Bekasi, Jawa Barat; Rote Ndao, Nusa Tenggara Timur didapati adanya kasus malanutrisi hingga mencapai ratusan anak. Media massa merilis angka yang disebutkan sebagai jumlah temuan kasus gizi buruk pada anak dari tahun 2004 hingga 2007.
Pada tahun 2004 terdapat 5,1 juta anak mengalami gizi buruk, tahun 2005 terdapat 4,42 juta anak, tahun 2006 terdapat 4,2 juta anak, tahun 2007 sebanyak 4,1 juta anak.
Departemen Kesehatan (Depkes) kemudian meluruskan pemberitaan itu. Menteri Kesehatan Siti Fadilah Supari pada keterangan pers 9 Maret 2008, mengatakan bahwa angka-angka yang disebutkan di atas keliru dalam identifikasi kasus gizi buruk. Katanya, tidak semua jumlah temuan itu adalah kategori gizi buruk.



Oleh Depkes, kasus-kasus malnutrisi dibedakan dalam beberapa golongan yaitu gizi buruk, gizi kurang, dan risiko gizi buruk. Pengertian gizi buruk sendiri adalah keadaan gizi kurang hingga tingkat yang berat yang disebabkan oleh rendahnya konsumsi energi dan protein dari makanan sehari-hari dan terjadi dalam waktu yang cukup lama.

Perbedaan Cara Pandang
Depkes meluruskan data dengan mengidentifikasi bahwa angka 5,1 juta anak pada tahun 2004 itu adalah total kasus gizi kurang dan gizi buruk. Jadi tidak semuanya gizi buruk. Pada tahun itu, dari angka 4,2 juta anak balita dimaksud, 3,3 juta anak mengalami gizi kurang, dan 944.000 mengalami risiko gizi buruk.
Pada 2007, dari 4,1 juta balita yang mengalami malnutrisi, sebanyak 3,38 juta mengalami gizi kurang, dan 755.000 dengan risiko gizi buruk. Depkes juga menekankan bahwa telah terjadi penurunan jumlah kasus malnutrisi pada anak Indonesia, dari 2004 hingga 2007, seperti ditunjukkan pada data di atas.
Namun, mengapa di awal 2008 ini, media massa masih memberitakan masalah malanutrisi pada anak Indonesia sebagai lampu merah? Tampaknya ada perbedaan pendekatan dalam melihat besaran masalah, antara pendekatan statistik dan empirik. Cara pandang kita terhadap suatu hal, bagaimanapun, menentukan langkah yang kita ambil dan efisiensi penanggulangannya.
Pemerintah cenderung melihat dengan pendekatan statistik. Dalam hal ini Pemerintah melihat dari sisi besaran total per tahun dan konteks kategori Kejadian Luar Biasa (KLB). KLB dihitung dari jumlah kasus per lokasi pada kurun waktu tertentu, dengan catatan apakah lebih besar dari kasus di tempat yang sama pada periode sebelumnya.
Masyarakat cenderung melihat dengan pendekatan empirik. Masyarakat melihat dari kacamata peristiwa harian di realitas kasus per kasus. Adanya satu kasus pun, bagi masyarakat itu sudah menjadi kasus. Apalagi ini menyangkut nyawa manusia, yang sebagian besar adalah anak-anak balita.
Dengan pendekatan statistik, Pemerintah cenderung melihat besaran masalah dengan pendekatan penggolongan keparahan kasus yaitu gizi buruk, gizi kurang, dan risiko gizi buruk menjadi pedang bermata dua. Di satu sisi, pendekatan ini bisa efektif dalam menentukan penanganan yang tepat, kasus per kasus, per daerah. Dengan berbasis pada data, tentu dapat ditentukan pemetaan masalahnya, dan intensitas penanganan yang diperlukan.
Namun di sisi lain, pendekatan statistik dapat meredusir masalah. Data-data statistik kasus malnutrisi adalah data yang dilaporkan. Seperti diketahui, data ini bersifat fenomena gunung es. Apa yang dilaporkan, belum tentu menampakkan data sebenarnya.
Masih banyak kasus yang tidak diketahui, karena tidak dilaporkan. Apalagi mengingat era otonomi daerah, laporan adanya gizi buruk di daerah tentunya menjadi raport merah bagi daerah. Sementara di sisi lain, pendekatan empirik kelemahannya adalah akurasi datanya yang tidak menggambarkan pemetaan masalahnya.
Pendekatan empirik berbasis pada temuan-temuan sporadis. Namun pendekatan tersebut bersifat lebih fleksibel dan lebih memungkinkan penanganan secara tanggap darurat.

Penguatan Masyarakat
Sekali lagi, problematika penanganan gizi buruk dan malnutrisi anak secara umum, menghadapkan kita kembali pada pentingnya penguatan masyarakat. Untuk menjembatani kesenjangan antara pendekatan statistik dan empirik, di sini peran serta masyarakat menjadi penting.
Masyarakat sebagai ujung tombak keseharian idealnya lebih besar lagi peran sertanya dalam penemuan kasus-kasus dan penanganannya. Untuk itu, di tataran praktis, layanan Posyandu harus dihidupkan lagi hingga ke pelosok daerah. Posyandu di masa lampau telah menunjukkan kinerja yang efektif dalam penemuan dan penanganan masalah-masalah kesehatan anak dan ibu, hingga pelosok daerah.
Revitalisasi Posyandu, menjadi suatu langkah yang paling mungkin untuk dilakukan. Maka, kenyataan bahwa Posyandu selama ini dihidupkan oleh tenaga-tenaga sukarelawan, harus mendapat dukungan kelembagaan dari Pemerintah, untuk memotivasi tetap aktifnya layanan-layanan Posyandu di daerah-daerah.
Pemerintah Daerah apabila betul-betul berkomitmen dalam hal ini, dapat memberi penguatan pada sukarelawan, misalnya memperhatikan logistik, transportasi, dan kemudahan fasilitas infrastruktur, demi kelancaran tugas para sukarelawan Posyandu.
Yang penting untuk dikuatkan juga adalah peran serta filantrofi. Mobilisasi dukungan dana maupun sumber daya lainnya dari kegiatan filantrofi perlu dioptimalkan. Organisasi kemasyarakatan termasuk pula di lembaga-lembaga keagamaan merupakan sumber dukungan yang potensial.
Pemerintah Daerah dapat mengambil peran sebagai fasilitator dengan menyediakan pemetaan masalah dan infrastruktur. Dengan demikian, kendala kekakuan birokrasi dengan pendekatan statistiknya diharapkan dapat dicairkan oleh optimalisasi peran serta masyarakat, dengan pendekatan empiriknya.

Oleh
Antonius Wiwan Koban
(Peneliti Bidang Sosial The Indonesian Institute)



Baca Selengkapnya......

PANGGIL AKU SENJA

by: LAWALANGY
PANGGIL AKU SENJA

Panggil aku senja
Karena saat itulah kubaurkan engkau dengan fatamorgana
Kupersandingkan engkau pada lembutnya semburat lazurdi
Kubelai engkau dengan risik dedaun
Yang menjadikan dirimu
Tertidur oleh lagu angin gunung

Panggil aku senja
Bila pagi membuatmu menggigil
Dan siang yang panas
Menjadikan dirimu layu
Dan pada malam yang bakal tenggelamkaan dirimu
Pada kesepian dan kerinduan abadi

Panggil aku…
Panggil aku…



Tidakkan jua engkau menyadari
Betapa halusnya kepakan sayap burung merpati
Dan awan seputih kapas
Menyusup dirimu dan hatimu
Mengharubiru
Dan langkah-langkah kakimu
Menapaki setapak demi setapak
Kisah yang timbul tenggelam
Terbawa gelombang mimpi
Dan karam pada lubuk hati
Yang dingin dan gelap

Panggil aku…
Panggil aku…

Panggil aku senja
Yang mengangkatmu terbang
Menembus birunya langit
dan kita bercinta
bersama malaikat dan permata sorgawi


SURAT BUAT KAWANKU

Wahai anak muda bangunlah
Mentari telah meninggi
Subuh berlalu dengan dinginya
Dan jangan biarkan sujud pukul 12.30 berlalu
Bangunlah….
Walau hanya tuk menyaksikannya
Kita ditakdikan bersua disini
Mencoba mengayunkan pedang pucuk ilalang
Pada dunia yang ganas
Dan kita kan bersama
Menikamnya dalam-dalam pada kesombongan yang datang menari pada kita
Hari-hari
Sadari satu hal :
”Mahzab Green Ranch Palace mengajarkan kita ketegaran dengan dirinya yang ringih”
Menjadikan dirinya maskot jiwa, kita tak perlu malu
Karena Tuhan masih mengizinkannya berdiri
Meski dosa-dosa kita menambah beban pada usianya yang tak lagi muda
Makna kebersamaan bagi kita
Adalah kelaparan yang masih saja tak mampu menekan tawa dan canda kita hari-hari
Itulah kita
Yang tak pernah lepas senyum dan makna cinta
Wahai…
Bangunlah
Mentari telah meninggi
Subuh berlalu dengan dinginya
Dan jangan biarkan sujud pukul 12.30 berlalu
Bangunlah….
Walau hanya tuk menyaksikannya


BIARKAN AKU JUMPA HARI ESOK

Tuhanku….
Dalam takut dan terbenam dibayangan dosa
Dan panasnya mentari sore yang menerpaku
Serta kejamnya malam yang memelukku
Tipisnya selimut mengungkung tubuh telanjangku
Biarkan aku jumpa hari esok….

29122006 | Tamalanrea

*ANGGOTA BIASA BHC

Baca Selengkapnya......

KESEHATAN YANG TERLUPA

Kesehatan Yang Terlupa
oleh: A s l a n S.Ked


Apa keunggulan kawasan Buton Raya? Sederet jawaban tertera, orang-orang menyebut aspal; bila dikelola kontinu akan sanggup beroperasi hingga 800 tahun ke depan (sepertiga pulau Buton mengandung aspal), hasil laut dengan segala keindahan bawah laut (Wakatobi), keanekaragaman hayati hutan Lambusango, Bau-bau dengan posisi strategis pelabuhan transit Indonesia Timur dan banyak potensi lain.
Tulisan ini mungkin hendak menawarkan satu perspektif, betapa selama ini kita (baca: pemerintah dan masyarakat) telah mengabaikan hal penting, yakni pembangunan bidang kesehatan. Sejak Indonesia merdeka, sungguh tidak banyak hal baru dibangun di kawasan ini, terkhusus jika mengambil daerah lain sebagai pembanding. Yang terdekat, saat Makassar telah memiliki berbagai sentra pelayanan kesehatan seperti Rumah Sakit yang maju (jumlah maupun kualitas), institusi pendidikan kesehatan lengkap dan bonafid, tenaga ahli, peralatan kesehatan modern dsb. Pada saat bersamaan, di bidang kesehatan, daerah kita belum berubah, kalaupun ada perbaikan, tidak signifikan dengan dinamika pertambahan penduduk dan kompleksitas wilayah, dari segi rasio jumlah tenaga kesehatan dan penduduk maupun pemutakhiran peralatan kedokteran misalnya. Di sisi lain, perkembangan pengetahun pengobatan dan penemuan alat-alat kesehatan berkembang demikian pesat.


Sementara sama dimaklumi, bahwa kesiapan daerah untuk menyediakan infra dan suprastruktur kesehatan telah menjadi satu kebutuhan penting, yang tak boleh ditunda. Dari aspek kuratif demikian, belum kita berbincang tinjauan promotif, preventif dan rehabilitatif.
Pertanyaan penting mengemuka, apa ada yang keliru dengan pengelolaan pembangunan kesehatan di sini? Yang jelas, ternyata kita tak kunjung sanggup merumuskan strategi jangka pendek dan jangka panjang dalam pengelolaan bidang kesehatan. Menyedihkan karena fakta berbicara, kesehatan tidak menempati porsi penting dalam praksis pemerintahan di kawasan. Memang, dari sekian kepala daerah beserta dinas terkait di kawasan Buton Raya, sangat sedikit yang terbukti punya keinginan politik kuat, membangun bidang ini. Bahkan ada kesan seperti gali lubang tutup lubang, sementara idealnya, sebuah strategi menjelma sebagai kerja-kerja real..
Pemerintah daerah yang konsisten pada kemaslahatan orang banyak, wajib hukumnya untuk merancang strategi berbasis data dan analisa kebutuhan, tidak boleh tidak.
Itu jika ingin berlaku adil dan serius, mengupayakan terpenuhinya kebutuhan dasar rakyat. Lalu, darimana kita mesti memulai? Sungguh banyak cara dan jalan, bisa dengan keberpihakan pada porsi anggaran, kebijakan, model pelayanan dan sebagainya, bergantung pada kondisi tiap-tiap daerah.
Bagaimana menumbuhkan kultur hidup sehat dan memperbaiki pelayanan kesehatan, dapat pula diawali dengan hal dasar yang langsung bersentuhan dengan kebutuhan orang banyak, seperti sesegera mungkin melengkapi tenaga kesehatan (dokter spesialis/ dokter umum yang terus terasah pengetahuan/ keterampilannya, perawat/ bidan terdidik, apoteker profesional, tenaga laboran terlatih, sarjana kesehatan masyarakat dsb) yang lengkap, minimal untuk 2 sampai 3 tahun, serta 10 atau 20 tahun dari sekarang. Tidak boleh ada kompromi, untuk hal yang berkaitan kebutuhan rakyat luas, kita pun memahami dalam pelayanan kesehatan, toleransi atas kesalahan adalah tidak diperbolehkan. Tidak boleh ada kekeliruan dalam pelayanan.
Terus apakah RS di kawasan ini telah memadai dengan peralatan kedokteran yang sesuai, seperti CT-Scan, alat cuci darah, dan sebagainya. Mengenaskan kalau yang kita miliki sekedar ranjang pasien dan beberapa peralatan berkarat yang ketinggalan zaman.
Atau lebih jauh lagi, seperti apakah dalam benak para pemimpin kita, bagaimana proyeksi ke depan, rencana pengembangan pelayanan kesehatan dengan melibatkan perguruan tinggi dan lembaga lain yang berkomitmen dalam peningkatan derajat kesehatan masyarakat.
Lazim terdengar dan kita saksikan di depan mata, bahwa untuk penyakit-penyakit tertentu (yang sesungguhnya dapat ditangani sendiri), ketika penduduk di kawasan ini jatuh sakit terpaksa harus dirujuk ke Makassar, sebagian karena keterbatasan peralatan dan tenaga medis, sebagian yang lain karena alasan yang berbeda; mulai dari kekecewaan atas pelayanan di kampung sendiri hingga ketidakpercayaan atas kemampuan tenaga kesehatan daerah kita. Dari mereka yang dirujuk, ada yang sembuh namun karena beberapa sebab, tak sedikit yang meninggal dunia.
Coba dihitung berapa aliran dana yang mengalir ke Makassar, belum lagi kerugian yang diderita oleh pasien baik secara individual maupun kolektif, yang pada gilirannya nanti berdampak pada penurunan produktifitas masyarakat dan merugikan perekonomian daerah dalam jangka panjang.
Sungguh kesehatan adalah kebutuhan asasi manusia, sama seperti makan minum, pakaian dan tempat tinggal. Tanpa tubuh yang sehat, kenikmatan makanan akan berkurang, pakaian dan tempat tinggal yang mewah pun menjadi tak banyak membantu.
* Penulis adalah Anggota BHC



Baca Selengkapnya......

IN HISTORY

PASEBA
oleh: NN

Suatu ketika di medio tahun 98, Kakanda Harno Jayahir Hadini berdiskusi dengan beberapa mahasiswa tentang pentingnya sinergi dari potensi yang dimiliki oleh mahasiswa kesehatan asal Buton dan sekitarnya (kala itu belum ada pemekaran wilayah) dalam organisasi berbasis disiplin ilmu. Ini penting, mengingat dalam beberapa kasus, ternyata kerja-kerja kolektif memiliki sejumlah keunggulan, terutama bila terfokus pada satu titik api konsentrasi, sesuai dengan latar belakang keilmuan setiap mahasiswa kesehatan.

Lepas sekitar tujuh tahun setelahnya, Alhamdulillah cita-cita mulia kakanda kita tadi maujud dengan dideklarasikannya organisasi “Buton Medical Center (BMC)” pada tanggal 3 Juni 2005 dengan deklarator (drg. Harno J. Hadini, dr.Muh.Hayun, Sahruddin S.KG, Aslan S.Ked, Ruslan SKM), yang menghimpun seluruh mahasiswa lintas disiplin ilmu kesehatan mulai dari Kedokteran, Kedokteran Gigi, Kesehatan Masyarakat, Farmasi, Keperawatan, Perawat Gigi, Kebidanan, Analis Kesehatan, Poltekes, Teknik Elektro Medik, Fisioterapi, Ilmu Gizi dan institusi pendidikan kesehatan lainnya yang berada di Makassar Sulawesi Selatan, dengan sekjen pertama L.M.Awaluddin Akram.
Sungguh di luar dugaan, pasca deklarasi, antusiasme teman-teman mahasiswa untuk bergabung sangat besar, dan ini membahagiakan kita semua, betapa niat mulia tadi bersambut dengan uluran cinta yang tulus dari seluruh mahasiswa kesehatan termasuk adanya tanggapan positif dari organisasi daerah yang telah eksis sebelumnya seperti KAMAKESA, BSC, BSA, HIMAKOB, HIPMIB, BEST (Bau-Bau English Society) dll. Selama hampir empat tahun berdiri, BMC telah melakukan berbagai aktifitas penting di bidang kesehatan, baik kegiatan tersebut berlangsung di Makassar atau di kampung sendiri.
Pada Kongres II di Makassar, dihasilkan keputusan penting seperti perubahan nama BMC menjadi Buton Raya Health Center (BHC) dengan sekjen Muhaimin, serta kesepakatan untuk lebih memasifkan sumbangsih konkret kita, karena sebuah cita-cita dan keinginan luhur untuk memberi apa saja yang dapat dikerjakan, sesuai kapasitas masing-masing, demi terwujudnya masyarakat makmur sejahtera dan saling mengasihi. Semoga “Buton Raya Health Center” senantiasa dilingkupi ruh dari etika: “bahwa kebajikan sekecil apapun niscaya memercikan gelombang kebajikan baru yang tiada berputus”,
Amien ya Rabbal Alamien..

Baca Selengkapnya......

GAIA

GAIA

Oleh: Aslan S.Ked

Konon bagi para astronot yang sedang bertugas di stasiun angkasa internasional (ISS: International Space Station), pengalaman paling menyentuh mereka alami, tatkala berada di samping jendela wahana luar angkasa itu, sembari melihat ke bawah, nun jauh di sana terbentang lengkung bulatan bumi dengan segenap horison, biru bumi yang aduhai indah, permai dalam detak hening, serupa perempuan anggun yang bersila di atas telaga maha luas.
Bumi kita yang memendarkan selimut cahaya di sekujurnya, bagi para astronot, sungguh pengalaman mahal dan berkesan; bukan saja karena pesona magis bumi, namun juga oleh desakan rindu pada sanak keluarga, anak, isteri/suami, kerabat yang telah ditinggalkan selama berbulan-bulan, dan ingatan pada berbagai tempat di bumi yang telah mengguratkan kenangan dalam perjalanan hidup.

Kalau saja curiga diizinkan, agaknya para astronot terpukau pada bumi, selain karena berbagai alasan tadi, jauh lebih dalam lagi; sebentuk ungkapan syukur dan terima kasih pada anugerah kehidupan yang tiada berhingga, yang telah dikecap sejak dulu. Sejenis kerinduan insani yang manifest sebagai kesadaran kolektif, bahwa dalam kagum dan rindu, pasti ada terima kasih disitu; serupa doa-doa yang dilafalkan tanpa bait tanpa kalimat.
Kenapa pula manusia tergerak untuk menjelajah angkasa, mencari tantangan baru di batas-batas terluar cakrawala, motif apa penyertanya? Ekonomi, politik, dominasi atau apa? Memang membahas motif tak begitu menarik lagi kini, apalagi bukan pada tempatnya berdiskusi tentang motif ketika manusia lain telah jauh melompati kita, tapi setidaknya ada banyak pengetahuan baru yang dihasilkan ketika proses “hijrah” dilakukan. Dahulu manusia bangkit dengan penjelajahan samudera untuk mencari daerah dan koloni baru, lalu dari situ kemajuan semakin tak terelakkan sebagai hasil dari pertemuan berbagai budaya dan semangat. Prinsip dasarnya ialah memulai hal baru sungguh tak mudah, tantangan tertebar dan resiko gagal mengintai.
Kembali pada kisah astronot dan bumi, dalam tradisi Yunani, Bumi kita disebut dewi ‘Gaia” atau kemudian dilidahkan sebagai Geo, Gaea; dipandang merupakan mahluk hidup, bukan mahluk tak hidup. Kata mahluk hidup yang dimaksud dan hendak ditafsirkan, jauh melampaui pengertian sempit yang dilekatkan oleh ilmu hayati (dengan sejumlah ciri mahluk hidup; makan, minum, bernapas dsb), namun lebih dimaksudkan Gaia yang berproses menyempurna sebagai media tumbuh bagi mahluk lain di atasnya, dengan sejumlah prosedur kerja yang belum tuntas dipahami manusia. Bumi biru kita mempunyai mekanisme tersendiri untuk bekerja dan berproses. Manusia yang berdiam di atas tanahnya, hanya satu dari sekian banyak bentuk-bentuk kehidupan lain; mulai dari dinosaurus, pepohonan hingga jasad renik yang tak kuasa diamati dengan mata telanjang. Bumi adalah rumah yang menyediakan segala kebutuhan apapun diatasnya, Bumi menafkahi semuanya.
Bumi atau Gaia adalah Ibu bagi apapun di dalamnya dan segenap material yang setiap detik berlomba datang ke atmosfer kita. Gaia memiliki mekanisme ‘penyembuhan’ tersendiri ketika ada ketidakseimbangan, kata kunci yang membuat ia tetap eksis ialah harmoni dan kesabaran.
Setiap interupsi Disharmoni akan direspon dengan berbagi cara, yang hingga kini belum juga dipahami utuh oleh manusia. Kita dapat menyebut contoh, semburan Lumpur lapindo, atau pertanyaan menggelitik seperti, kenapa setelah SBY jadi presiden, negara ini didera bencana tak berputus? Dalam kajian holistik, bencana tak berawal dan berhenti hanya sebagai bencana belaka, ia niscaya memiliki jejaring yang terkait dengan perilaku manusia, hewan dsb, termasuk pula karakter kepemimpinan yang menjadi panutan. Entah apa sebenarnya yang tengah terjadi di sini, rumit diuraikan dengan satu dua kalimat.
Menengok pada kedirian kita, ternyata jauh sebelum mantan wapres AS, Al Gore membuat film dokumenter ‘incovenient truth’ yang berkisah, bahaya dari pola hidup manusia/ masyarakat yang mengancam keselamatan planet Bumi, atau jauh sebelum aktifis lingkungan hidup berteriak, neraka yang mengintip dari pemanasan global. Para leluhur kita telah menitipkan bermacam nilai dan ajaran hidup, semisal di pulau Buton, ada penetapan kawasan Hutan lambusango sebagai “Hutan Kaombo” atau hutan keramat, dimana telah dilindungi sejumlah mantra/ doa atau perlakuan tertentu, yang jika coba dilanggar dapat berakibat fatal mulai dari jatuh sakit hingga meninggal dunia, ini menyebabkan masyarakat sekitar, tak berani menebang sesukanya tanpa seizin Sultan, apalagi sampai merusak kelestarian hutan. Di daerah lain di Indonesia, banyak hal serupa, seperti penetapan wilayah tertentu oleh penguasa lokal, sebagai kawasan hutan lindung dsb. Mungkin yang kita butuh kini, adalah kesediaan untuk menoreh tafsir baru atas berbagai kearifan lokal.
Peristiwa melelehnya es di kutub baru-baru ini, tak lepas dari kebiasaan buruk mahasiswa, katakanlah seperti membakar ban bekas kala demonstrasi, turut memberi andil bagi polusi dan pemanasan global. 

Baca Selengkapnya......

WASPADAI ABORSI

| 0 komentar


BANYAKNYA perempuan yang melakukan praktek aborsi yang tidak aman karena masyarakat masih memandang persoalan aborsi sebagai peroalan moralitas dan kriminalitas semata. Kematian seorang ibu yang melakukan aborsi di Indonesia cukup tinggi. Data menunjukkan sebanyak 307 ibu meninggal dari 100.000 angka kelahiran. Sebanyak 50 persen diakibatkan karena praktek aborsi yang tidak aman.
Demikian juga dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004, ketentuan mengenai aborsi belum sepenuhnya ditempatkan sebagai isu kesehatan. Koordinator Jaringan Kerja Prolegras Pro Perempuan (JKP3) Ratna Batar Munti mengatakan selama ini, hak-hak kaum perempuan dan marginal masih terpinggirkan. Pengaturan UU Kesehatan belum merespon tingginya angka kematian ibu saat melakukan aborsi.


KUHP dan UU Kesehatan saat ini membuat perempuan yang melakukan aborsi rentan dianggap sebagai pelaku kejahatan. "Padahal mereka hanya menginginkan hak-hak kesehatan mereka. Itu harus diakomodir karena merupakan bagian dari hak asasi manusia," ujar Ratna sebelum membuka acara lokakarya Mendorong Segera Disahkannya RUU Kesehatan Dengan Perspektif HAM di Hotel Ibis, Jakarta, pada Selasa (8/4).
Untuk itu, JKP3 berusaha memperjuangkan diakomodasikannya aborsi sebagai bagian dari persoalan kesehatan reproduksi. Aborsi harus dilihat sebagai isu kesehatan yang harus dapat diakses dan dipenuhi oleh negara."Harus ada kepastian hukum yang mengatur hal itu guna menghundari makin banyaknya ibu yang meninggal akibat melakukan aborsi yang tidak sehat," ujarnya.

Sekitar 87 persen tindakan aborsi yang terjadi di Indonesia dilakukan wanita bersuami dan hanya 13 persen yang dilakukan wanita belum menikah.


"Selama ini ada anggapan yang salah di masyarakat bahwa aborsi lebih banyak dilakukan remaja yang hamil diluar nikah," kata Guru Besar Universitas Yarsi Jakarta, Prof. Dr. Jurnalis Uddin seperti dikutip Antara di Medan, Minggu (2/3).

Ia mengatakan, dalam penelitian yang dilakukan Yayasan Kesehatan Wanita (YPK) Jakarta di sembilan kota besar seperti Medan, Jakarta, Batam, Bandung,Yogyakarta, Surabaya, Denpasar, Mataram dan Manado menunjukkan dari 1.446 responden ternyata 87 persen yang melakukan aborsi statusnya menikah.

Dalam makalah yang disampaikannya pada seminar "Reinterpretasi Hukum Islam Tentang Aborsi dan Fatwa MUI No. 4 tahun 2005 Tentang Aborsi" di Medan, akhir pekan lalu itu ia menyebutkan ada beberapa alasan penyebab tingginya angka aborsi pada kalangan wanita yang berstatus menikah.

Diantaranya karena alasan gangguan kesehatan fisik yang cukup berat pada sang ibu seperti kanker stadium lanjut, TBC dengan Caverna dan HIV/AIDS. Kemudian juga karena gangguan kesehatan jiwa berat seperti skozofren dan retardasi mental.

Sebab lain, kata dia, adalah karena janin dideteksi akan cacat genetik yang kalau lahir tidak dapat disembuhkan serta hamil karena perkosaan yang berakibat gangguan fisik dan jiwa berat seumur hidup.

"Hamil karena incest yang merupakan aib tak tertahankan seumur hidup serta alasan sosial ekonomi seperti kehamilan yang terlalu rapat juga menjadi sebab lain tingginya angka aborsi pada wanita berstatus menikah di Indonesia," katanya.



Aborsi tidak aman
Penghentian kehamilan (aborsi) yang tidak aman akibat kehamilan tidak diinginkan meningkatkan risiko kematian pada ibu. Oleh karena itu, pelayanan kesehatan reproduksi pada perempuan berbasis konseling perlu diberikan untuk mengatasi masalah tersebut.
Badan Kesehatan Dunia (WHO) memperkirakan, dari 200 juta kehamilan per tahun, dan 38 persen di antaranya merupakan kehamilan tak diinginkan (KTD). Situasi ini memicu tingginya angka kematian ibu akibat terjadinya komplikasi berupa perdarahan dan infeksi.
Menurut Ketua Yayasan Kesehatan Perempuan Tini Hadad, dalam pelatihan kesehatan reproduksi bagi jurnalis, Jumat (15/2), di Jakarta, penyebab utama kehamilan tidak diinginkan adalah kegagalan kontrasepsi dan tidak menggunakan alat kontrasepsi saat berhubungan intim.
Menurut WHO, dua pertiga perempuan di dunia yang mengalami KTD berakhir dengan penghentian kehamilan disengaja, dan 40 persen di antaranya dilakukan secara tidak aman. Mayoritas aborsi tidak aman terjadi di negara berkembang dan menyum bang sekitar 50 persen dari seluruh kematian ibu akibat komplikasi berupa infeksi dan perdarahan.
Terkait hal itu, pada Konferensi Internasional Kependudukan dan Pemban gunan (ICPD) di Kairo tahun 1994, penghentian kehamilan tidak aman diidentifikasikan sebagai masalah kesehatan masyarakat. Oleh karena itu, negara berkewajiban melindungi perempuan dari kematian akibat penghentian kehamilan tidak aman.
Sejauh ini, masalah aborsi tidak aman dinilai belum ditanggapi secara serius oleh pemerintah. Meski tindakan penghentian kehamilan dilarang menurut hukum Indonesia, banyak perempuan tetap mencari layanan aborsi tanpa mempedulikan apakah layanan itu diberikan secara aman dan memenuhi standar medis. Hal ini menghadapkan perempuan pada risiko kematian dan kesakitan akibat komplikasi berupa infeksi dan perdarahan, ujarnya.
Di Indonesia, Survei Demografi Kesehatan Indonesia tahun 1997 memperkirakan 12 persen kehamilan akan berakhir dengan aborsi. Studi terbaru yang dilakukan Utomo dkk (2001) memperkirakan insiden aborsi per tahun 2 juta atau 43 aborsi per 100 kehamilan. Jika masalah kehamilan tidak diinginkan ini tidak segera diatasi, maka angka kematian ibu dan bayi di Indonesia akan sulit ditekan, kata Tini Hadad menambahkan.
Menyediakan Pelayanan Aborsi Legal dalam Keterbatasan Hukum
Hukum di 131 negara berkembang mengizinkan tindak aborsi dilakukan dengan pertimbangan keadaan tertentu, mulai dari pertimbangan sosial dan ekonomi sampai dengan pertimbangan yuridis. Kebanyakan negara tersebut mengizinkan aborsi untuk menyelamatkan kehidupan dari perempuan hamil, dan 50 negara di antaranya membolehkan aborsi akibat perkosaan atau incest. Begitu juga halnya di negara dengan hukum yang lebih ketat, di mana kebanyakan perempuan tidak dapat menemukan alasan kesehatan masyarakat yang mampu menyediakan pelayanan aborsi, walaupun mereka memenuhi syarat untuk menjalani aborsi.
Artikel ini tidak bertujuan untuk menimbulkan debat mengenai kondisi yang bagaimana aborsi seharusnya menjadi legal. Berikut ini langkah praktis yang dapat diambil untuk menyediakan pelayanan aborsi legal di rumah sakit (RS):
1. Membangun dukungan masyarakat untuk pelayanan aborsi legal
Jelaskan alasan menyediakan pelayanan aborsi legal pada kelompok yang berkepentingan seperti tenaga kesehatan, pembuat kebijakan, aktivis perempuan, dan kelompok relijius. Kumpulkan data tentang aborsi tidak aman, kekerasan seksual dan kebutuhan akan pelayanan aborsi. Semua hasil diskusi disajikan dalam informasi yang jelas dan padat untuk membuat peka mereka yang bertanggung jawab secara langsung dalam menyediakan atau mempromosikan pelayanan kesehatan dan membuat mereka mengenal masalah ini. Selain itu juga perlu diadakan lokakarya untuk identifikasi penyimpangan dari penyajian data tentang prevalensi kekerasan seksual dan kebutuhan potensial untuk pelayanan yang mungkin berguna dalam membentuk dukungan untuk aborsi legal. Selanjutnya koordinasi dengan kelompok perempuan yang berfokus pada kekerasan dan isu relevan lainnya untuk menjelaskan besarnya masalah dan kebutuhan pelayanan.
2. Mengembangkan peraturan lokal yang memungkinkan penerapan hukum nasional
Jika hukum nasional terkesan masih samar mengenai hal-hal yang diperlukan dalam menyediakan pelayanan aborsi, dapat bekerjasama dengan Departemen Kesehatan untuk membuat protokol.
3. Meminta dukungan dari Departemen Kesehatan dan kelompok profesional
Jika RS di mana akan dikembangkan pelayanan aborsi dimiliki oleh swasta/PMA, buat hubungan kerjasama dengan pemilik RS itu dengan menggunakan pendekatan administratif. Fokuskan pada bagaimana menerapkan hukum yang ada daripada memperdebatkan nilai aborsi.
4. Membentuk tim di fasilitas kesehatan
Bertemu dengan direktur RS, komite etik, bagian kebidanan dan kandungan, perawat, pekerja sosial dan komite kematian ibu. Buatlah mereka menjadi peka dengan masalah ini, diskusikan keuntungan dan kerugian program aborsi legal, bentuk tim, buat pekerjaan rutin baru berdasarkan kasus yang diantisipasi. Libatkan staf dalam menemukan cara untuk membuat program berjalan.
5. Jika hukum dibutuhkan, bentuk komite aborsi dalam RS
Jika komite dibutuhkan, buatlah dengan melibatkan multidisipliner yang memungkinkan kelompok menyekesaikan masalah medis dan legalitas dari setiap kasus. Jangan sampai membuat komite itu menjadi kompleks dan birokratis yang akan menghambat pelayanan.
6. Membangun protokol RS untuk dapat menjalankan aborsi legal
Pertimbangkan aliran pasien, masalah staf dan administrasi RS yang berhubungan dengan pelayanan baru. Protokol dapat terdiri dari langkah-langkah penilaian klinis awal dari kehamilan, pertimbangan kasus dari komite RS, menjadwalkan prosedur, konseling dengan klien untuk mendiskusikan informed consent untuk prosedur dan menjawab pertanyaan mengenai teknik apa yang akan digunakan, masa rawat inap, risiko dibius, dsb.
7. Melatih tim yang terdiri dari para profesional untuk pelayanan komprehensif
Yakinkan bahwa tim ini akan siap untuk merespon kebutuhan yang bervariasi, termasuk konseling sebelum, selama dan setelah aborsi, menawarkan kontrasepsi darurat pada perempuan yang datang ke RS dalam 72 jam setelah diperkosa untuk mencegah kehamilan tidak diinginkan, menyediakan rujukan untuk pelayanan kontrasepsi, membentuk lingkungan yang menekankan pentingnya penghargaan dan kerahasiaan, meyakinkan bahwa peralatan medis tersedia setiap saat dan menggunakan teknologi yang paling tepat untuk melaksanakan aborsi. Pada usia kehamilan yang sudah tua atau tidak memenuhi syarat untuk dilakukan aborsi, buat system rujukan untuk perawatan kehamilan dan pelayanan lainnya. Harus ada jaminan bahwa mereka akan mendapatkan perawatan lanjutan yang dibutuhkan.
8. Mengumpulkan dan menggunakan data statistik untuk evaluasi pelayanan
Buatlah evaluasi sebagai bagian dari standar pelayanan aborsi legal dan mengumpulkan statistik dari variabel kunci yaitu umur, suku, dan status kawin; hubungan dengan pelaku kekerasan atau perkosaan; umur kehamilan; jumlah dan jenis prosedur komplikasi. Kajilah statistik secara periodik dan buat perubahan yang tepat dalam pelayanan untuk memenuhi kebutuhan pasien.
9. Menyebarkan informasi tentang pelayanan
Publikasikan adanya pelayanan aborsi kepada masyarakat di wilayah tersebut. Bentuklah hubungan dengan kelompok perempuan, polisi, puskesmas dan pihak lainnya untuk menginformasikan mereka akan ketersediaan pelayanan aborsi legal. Mintalah bantuan mereka untuk memberikan rujukan pada perempuan yang membutuhkan pelayanan tersebut. Yakinkan bahwa mereka mengetahui bentuk dan prosedur yang dibutuhkan perempuan agar memenuhi syarat untuk mendapatkan aborsi legal.
Aborsi ditinjau dari Tiga Sudut Pandang


Aborsi tetap menjadi masalah kontroversial, tidak saja dari sudut pandang kesehatan, tetapi juga sudut pandang hukum dan agama. Artikel berikut ini bertujuan untuk mengupas masalah aborsi ditinjau dari ketiga sudut pandang tersebut serta
perkembangan terakhir dalam rangka mewujudkan aborsi aman di Indonesia.

A. Sudut pandang kesehatan

Abortus adalah berakhirnya suatu kehamilan (oleh akibat-akibat tertentu) sebelum buah kehamilan tersebut mampu untuk
hidup di luar kandungan. Abortus dibagi menjadi dua, yaitu abortus spontan dan abortus buatan. Abortus spontan adalah
abortus yang terjadi secara alamiah tanpa adanya upaya-upaya dari luar (buatan) untuk mengakhiri kehamilan tersebut.
Dalam beberapa kepustakaan, terminologi yang paling sering digunakan untuk hal ini adalah keguguran (miscarriage).
Sedangkan abortus buatan adalah abortus yang terjadi akibat adanya upaya-upaya tertentu untuk mengakhiri proses
kehamilan. Istilah yang sering digunakan untuk peristiwa ini adalah aborsi, pengguguran, atau abortus provokatus. Dalam
artikel ini istilah yang digunakan dalam konteks ini adalah aborsi. Aborsi biasanya dilakukan atas indikasi medis yang
berkaitan dengan ancaman keselamatan jiwa atau adanya gangguan kesehatan yang berat pada ibu, misalnya tuberkulosis paru berat, asma, diabetes melitus, gagal ginjal, hipertensi, penyakit hati menahun (JNPK-KR, 1999).

Aborsi merupakan masalah kesehatan masyarakat karena memberikan dampak pada kesakitan dan kematian ibu.
Sebagaimana diketahui penyebab utama kematian ibu hamil dan melahirkan adalah perdarahan, infeksi dan eklampsia.
Namun sebenarnya aborsi juga merupakan penyebab kematian ibu, hanya saja muncul dalam bentuk komplikasi perdarahan dan sepsis (Gunawan, 2000). Akan tetapi, kematian ibu yang disebabkan komplikasi aborsi sering tidak muncul dalam laporan kematian, tetapi dilaporkan sebagai perdarahan atau sepsis. Hal itu terjadi karena hingga saat ini aborsi masih merupakan masalah kontroversial di masyarakat. Di satu pihak aborsi dianggap ilegal dan dilarang oleh agama sehingga masyarakat cenderung menyembunyikan kejadian aborsi, di lain pihak aborsi terjadi di masyarakat. Ini terbukti dari berita yang ditulis di surat kabar tentang terjadinya aborsi di masyarakat, selain dengan mu-dahnya didapatkan jamu dan obat-obatan peluntur serta dukun pijat untuk mereka yang terlambat datang bulan (Wijono, 2000).

Tidak ada data yang pasti tentang besarnya dampak aborsi terhadap kesehatan ibu, WHO memperkirakan 10-50% kematian ibu disebabkan oleh aborsi tergantung kondisi masing-masing negara. Diperkirakan di seluruh dunia setiap tahun dilakukan 20 juta aborsi tidak aman, 70.000 wanita mening-gal akibat aborsi tidak aman dan 1 dari 8 kematian ibu disebab-kan oleh aborsi tidak aman. Di wilayah Asia tenggara, WHO memperkirakan 4,2 juta aborsi dilakukan setiap tahunnya, di antaranya 750.000 sampai 1,5 juta terjadi di Indonesia. Risiko kematian akibat aborsi tidak aman di wilayah Asia diperkirakan antara 1 dari 250, negara maju hanya 1 dari 3700. Angka tersebut memberikan gambaran bahwa masalah aborsi di Indonesia masih cukup besar (Wijono, 2000).

Padahal, Konferensi Internasional Kependudukan dan Pembangunan (International Conference on Population and
Development/ICPD) di Kairo tahun 1994 dan Konferensi Wanita di Beijing tahun 1995 menyepakati bahwa akses pada
pelayanan aborsi yang aman merupakan bagian dari hak perempuan untuk hidup, hak perempuan untuk menerima standar pelayanan kesehatan yang tertinggi dan hak untuk memanfaatkan kemajuan teknologi kesehatan dan informasi. Dengan demikian, diperlukan perlindungan hukum dalam menyelenggarakan pelayanan aborsi yang aman untuk menjamin hak perempuan dalam menentukan fungsi reproduksi dan peran reproduksi tubuhnya sendiri. Penelitian menunjukkan bahwa dilegalkannya aborsi aman di sebuah negara justru berperan dalam menurunkan angka kejadian aborsi itu sendiri mungkin salah satunya karena efektivitas konseling pasca aborsi yang mewajibkan pemakaian kontrasepsi bagi mereka yang masih aktif seksual namun tidak ingin mempunyai anak untuk jangka waktu tertentu. Selain itu juga ditunjang oleh efektivitas alat kontrasepsi itu sendiri yang hampir mencapai 100 persen sehingga mengurangi angka kehamilan tidak diinginkan yang berakhir pada tindak aborsi.

Held dan Adriaansz sebagaimana dikutip dari Wijono (2000), mengemukakan hasil meta analisis tentang kelompok risiko tinggi terhadap kehamilan yang tidak direncanakan dan aborsi tidak aman berdasarkan persentasenya, yaitu:
1) kelompok unmet need dan kegagalan kontrasepsi (48%); 2) kelompok remaja (27%); 3) kelompok praktisi seks komersial; 4) kelompok korban perkosaan, incest dan perbudakan seksual (9%). Dengan demikian dapat diambil kesimpulan bahwa ternyata kelompok unmet need dan gagal KB merupakan kelompok terbesar yang mengalami kehamilan tidak direncanakan sehingga konseling kontrasepsi merupakan salah syarat mutlak untuk dapat mengurangi kejadian aborsi, terutama aborsi berulang, selain faktor lainnya.
Konseling kontrasepsi bertujuan untuk membantu klien memilih salah satu kontrasepsi yang sesuai bagi mereka, dalam
kaitannya dengan risiko fungsi reproduksi dan peningkatan kualitas kesehatan (JNPK-KR, 1999). Pada intinya, konseling ini akan memberi informasi bagi klien tentang: 1) Kemungkinan menjadi hamil sebelum datangnya menstruasi berikut, 2) Adanya berbagai metode kontrasepsi yang aman dan efektif untuk mencegah atau menunda kehamilan, 3) Di mana dan bagaimana mereka mendapatkan pelayanan dan alat kontrasepsi.

Konseling merupakan proses penting dalam pelayanan alat kontrasepsi karena:
- Pemilihan metode kontrasepsi ditentukan setelah melalui serangkaian pemberian informasi dan memperhatikan berbagai
aspek reproduktif
- Penentuan pilihan harus mempertim-bangkan aspek kesehatan dan keinginan klien
- Pilihan metode kontrasepsi berdasarkan keamanan dan efektivitas
- Penerimaan makin baik dengan semakin dipahaminya kerja alat tersebut
- Kepuasan klien menjamin kesinambungan penggunaan alat kontrasepsi

Konseling kontrasepsi sesudah aborsi merupakan syarat mutlak agar dapat mencegah kehamilan tidak diinginkan berikutnya yang pada akhirnya mencegah aborsi. Tujuan dari konseling kontrasepsi sesudah aborsi adalah:
- Membantu pasien untuk memahami faktor-faktor yang berkaitan dengan terjadinya kehamilan yang tidak dikehendaki
(jika memang ternyata demikian) sehingga dapat menghindar-kan terjadinya hal serupa di masa datang.
- Membantu pasien dan keluarganya untuk menentukan apalah mereka memang alat kontrasepsi
- Membantu memilihkan salah satu metode yang sesuai dengan keinginan pasien, apabila mereka membutuhkannya
- Membantu pasien untuk meng-gunakan alat kontrasepsi secara efektif

B.Sudutpandanghukum

Menurut Sumapraja dalam Simposium Masalah Aborsi di Indonesia yang diadakan di Jakarta pada tanggal 1 April 2000
menyatakan adanya terjadinya kontradiksi dari isi Undang-undang No. 23/1992 pasal 15 ayat 1 sebagai berikut.

"Dalam keadaan darurat sebagai upaya untuk menyelamatkan jiwa ibu hamil dan atau janinnya* dapat dilakukan tindakan medis tertentu**."

Hal yang dapat dijelaskan dari isi Undang-undang tersebut adalah:

*) kalimat untuk menyelamatkan jiwa ibu hamil dan atau janinnya merupakan pernyataan cacat hukum karena kalimat
tersebut sepertinya menjelaskan bahwa pengguguran kandungan diartikan sebagai upaya menyelamatkan jiwa ibu dan atau janinnya. Padahal, pengguguran kandungan tidak pernah diartikan sebagai upaya untuk menyelamatkan janin, malah
sebaliknya.

**) penjelasan Pasal 15: "Tindakan medis dalam bentuk pengguguran kandungan dengan alasan apapun, dilarang karena
bertentangan dengan norma hukum, norma agama, norma kesusilaan, dan norma kesopanan. Namun dalam keadaan darurat sebagai upaya menyelamatkan jiwa ibu dan atau janin yang dikandungnya dapat diambil tindakan medis tertentu. Dengan demikian dapat diambil kesimpulan bahwa dasar hukum tindakan aborsi yang cacat hukum dan tidak jelas itu menjadikan tenaga kesehatan yang memberikan pelayanan aborsi rentan di mata hukum.

C.Sudutpandangagama

Ada berbagai pendapat ulama Islam mengenai masalah aborsi ini. Sebagian berpendapat bahwa aborsi yang dilakukan
sebelum 120 hari hukumnya haram dan sebagian lagi berpendapat boleh. Batasan 120 hari dipakai sebagai tolok ukur
boleh-tidaknya aborsi dilakukan mengingat sebelum 120 hari janin belum ditiupkan ruhnya yang berarti belum bernyawa. Dari ulama yang berpendapat boleh beralasan jika setelah didiagnosis oleh dokter ahli kebidanan dan kandungan ternyata apabila kehamilan diteruskan maka akan membahayakan keselamatan ibu, maka aborsi diperbolehkan. Bahkan bisa menjadi wajib jika memang tidak ada alternatif lain selain aborsi. Dengan demikian, apabila dari sudut pandang agama saja aborsi diperbolehkan dengan alasan kuat seperti indikasi medis, maka sudah sepatutnyalah apabila landasan hukum aborsi diperkuat sehingga tidak ada keraguan dan kecemasan pada tenaga kesehatan yang berkompeten melakukannya.

D. Upaya yang dilakukan saat ini

Berbagai upaya telah dicoba untuk dilakukan sejak beberapa tahun yang lalu. Salah satu upaya yang telah dilakukan oleh
Forum Kesehatan Perempuan (FKP) yang terdiri dari aktivis lembaga swadaya masyarakat (LSM), praktisi hukum, peneliti senior, pengurus/anggota organisasi profesi adalah dengan mengadakan pertemuan intens yang bertujuan akhir untuk mengamandemen Undang-undang Ke-sehatan Nomor 23 tahun 1992 pasal 15. Sementara itu untuk mencapai tujuan akhir tersebut, upaya saat ini difokuskan untuk menyusun Surat Keputusan Menteri Kesehatan (SK Menkes) tentang batasan pelayanan aborsi yang aman dengan memasukkan kriteria, yaitu antara lain:

1) usia kandungan dibawah 12 minggu
2) di rumah sakit yang ditunjuk
3) oleh dokter yang bersertifikat
4) konseling pra dan pasca aborsi
5) biaya yang terjangkau

Tujuan khususnya antara lain menghimpun dan menampung pendapat khalayak dari berbagai pihak tentang masalah aborsi, menentukan isi SK Menkes tentang pelayanan aborsi yang aman serta menyusun, menyepakati dan melakukan proses penerbitan SK tersebut.

Salah satu upaya FKP dalam menghimpun dan menampung pendapat khalayak dari berbagai pihak mengenai aborsi
dilakukan melalui jajak pendapat yang dilakukan sebanyak dua kali oleh instansi yang berbeda selama bulan Desember
2000. Jajak pendapat yang dilakukan Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia bekerja sama dengan Mitra Perempuan, Ford Foundation, Fenomena, Universitas Atmajaya dan Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia pada 600 responden yang ditelepon secara acak berdasarkan buku telepon di lima wilayah di DKI Jakarta, menunjukkan 83,5 persen responden perempuan dan laki-laki setuju jika keputusan secara medis dan psikologis mengenai aborsi ditentukan oleh dokter, melalui proses konseling dengan pasien. Sebesar 85,11 persen dari mereka yang setuju adalah perempuan yang menikah. Jajak pendapat lainnya yang dilakukan Population Council, Yayasan Mitra Inti dan Pusat Penelitian Kesehatan Universitas Indonesia terhadap 159 responden menemukan sebesar 78 persen responden menyetujui perlunya mengurangi risiko penyebab kematian akibat aborsi yang tidak aman dan 85 persen menyetujui keputusan aborsi ditentukan bersama melalui proses konseling. Kemudian sebesar 55 persen menyatakan perlunya disediakan tempat aborsi yang resmi, aman dengan standar pelayanan berkualitas.
Diolah dari berbagai sumber.




Baca Selengkapnya......

Pelayanan Pendidikan dan Kesehatan di Buton Belum Maksimal

| 0 komentar

Berdasarkan hasil riset sementara yang dilakukan JPKP dalam implementasi program driving change bekerja sama Oxfam GB Makassar pada bidang pendidikan dan kesehatan di Kabupaten Buton ternyata pelayanan pada kedua bidang yang merupakan layanan publik ini belum maksimal di lakukan.

Demikian dikatakan coordinator program JPKP Farida ketika ditemui pada seminar sehari review kinerja standar pelayanan minimal (SPM) pemerintah pendidikan dan
kesehatan Kabupaten Buton di hotel Lina kemarin. Menurut Farida, dalam riset dan pemantauan dengan melibatkan beberapa unsure yakni masyarakat, akademisi dan
ngo local dapat terlihat indicator yang disiapkan dalam masing-masing standar pelayanan minimal belum maksimal.

Demikian juga dari hasil interview yang dilakukan melalui kuisioner ternyata promosi dan sosialisasi terkait kebijakan standar pelayanan minimal (pelayanan public) belum maksimal. Bahkan, ketika tim riset menggali hal tersebut sebagian dinas maupun badan tidak mengetahui informasinya.

Karena itu ungkap Farida, JPKP mencoba membuka ruang diskusi antara multi pihak sehingga nantinya permasalahan yang ada pada dua bidang ini menjadi
permasalahan bersama dan menjadi agenda kerja pemerintah khususnya dinas pendidikan dan dinas kesehatan. Kedua bidang ini merupakan pilar pembangunan dalam mencerdaskan dan berkontribusi terhadap peningkatan kualitas hidup
masyarakat utamanya masyarakat Kabupaten Buton, ungkapnya

Dikutip dari kendariekspress.com, tgl 9 maret 2008

Baca Selengkapnya......