Untuk Negeri yang Hampir Bangkrut


Untuk Negeri yang Hampir Bangkrut
(dokter Soetomo dalam jejak sejarah)
Oleh : Aslan S.Ked*

Seratus tahun lalu, di suatu hari 20 Mei 1908, anak-anak muda, mahasiswa STOVIA (School tot Opleiding van Inlandsche Artsen) atau sekolah untuk pendidikan dokter bumiputera, bersepakat mendirikan Boedi Oetomo, tanggal tadi kemudian didaulat sebagai penanda bangkitnya kesadaran berbangsa.
Kita yang lahir jauh hari setelah peristiwa itu mungkin tergerak mengajukan tanya; apakah keseriusan mencemplungkan diri pada spirit sebagai satu bangsa ialah hal, yang rigid kaku ataukah, dinamis berproses sesuai kebutuhan zaman? Ini begitu penting diungkap, kala sejumlah syarat bagi kolapsnya negara bangsa telah dimiliki Indonesia.
Sejarah bertutur bahwa ketika terjadi kejumudan dalam lengkung waktu tertentu di tanah air, maka kaum muda selalu menjadi pemecah kebekuan dengan menawarkan solusi. Tentu lompatan berpikir segelintir kaum muda terdidik pada masa itu (thn 1908) tak lepas dari keberanian untuk menjadi “beda” dengan kecenderungan sekitar di tanah jajahan.

Bisa dibayangkan, Soetomo kala itu baru berusia 20 tahun. Tapi kehendak berhimpun dan bekerja bagi kepentingan orang banyak, ternyata cukup menggoda. Di sela kegiatan pendidikan dokter di Stovia, para mahasiswa pribumi yang beruntung tadi, masih sempat juga, memikirkan satu organisasi modern yang bercita-cita.
Alur hidup Soetomo baik sebagai mahasiswa, sebagai dokter rakyat, aktifis pergerakan maupun sebagai intelektual profesional, memang menarik diperbincangkan. Persis selepas menuntaskan studi, seperti yang dapat dibaca pada Jurnal Ebers Papyrus (Vol 3 No.1 thn 1997), Soetomo melakoni hidup berpindah-pindah dari satu daerah ke daerah yang lain, pernah bekerja di Lubuk Pakam, kota kecil dekat Medan, kemudian berturut-turut pindah ke Malang, Kepanjen, Magetan dan Blora. Di rumah sakit Blora inilah ia berjumpa dengan calon istri, seorang suster Belanda. Semasa bertugas di Sumatera Selatan, ia sekolah kembali ke negeri Belanda lalu melanjutkan spesialisasi ilmu penyakit kulit dan kelamin di Hamburg Jerman.
Sepulang dari luar negeri, Soetomo melibatkan dan mengabdikan diri bagi kepentingan rakyat kecil, selain itu masih sempat pula menulis sejumlah karya ilmiah bagi kepentingan pengembangan ilmu pengetahuan. Pertanyaan selanjutnya kini, masihkah negeri ini punya stok anak bangsa seperti Soetomo? Seorang profesional cendekia, teguh komitmen dan berbuat positif untuk kemanusiaan.
Betapa kita terusik dengan kenyataan bahwa perubahan penting di negeri kita senantiasa distimulus oleh kaum muda. Jejak sejarah seperti itu yang mestinya dihamparkan untuk kemudian dijadikan acuan bahwa sudah saatnya kepemimpinan dikembalikan ke tangan kaum muda belia. Apalagi di tengah kegelisahan bangsa dengan kebijakan ‘sesat’ penyelenggara negara yang melecehkan kehendak real rakyat, semisal kebijakan di dunia ekonomi, pendidikan, kesehatan dan budaya yang menempatkan rakyat sekedar sebagai ‘penderita’ yang ‘terpaksa dan dipaksa’ menerima kehendak negara, yang senyatanya tak berpihak pada mereka. Kepemimpinan kaum muda, tentu tersusun dari himpunan energi kreatif, mengingat kaum muda demikian bertenaga dan belum begitu ‘ternoda’ dibanding mereka yang telah terbukti menebarkan petaka di negeri kita.
Di tengah kelelahan massal yang menimpa negara dan bangsa kita, belajar dan berkaca pada semangat kaum muda di setiap momen perubahan negeri memang mendesak dilakukan. Betapa anak-anak bangsa seperti Soetomo dkk, jauh-jauh hari telah berbuat sesuatu untuk generasi setelah mereka.
Pertanyaan susulan yang lain adalah kenapa pendidikan kolonial berhasil melahirkan dokter seperti Soetomo, Wahidin Sudirohusodo, Tjipto Mangunkusumo dsb, yang serius mengabdikan waktu, diri dan pikiran demi kepentingan rakyat. Bahkan output pendidikan kolonial, seperti dokter Soetomo dalam keseharian, ketika praktek, sekedar meletakan kotak kosong (celengan) di pintu keluar ruang prakteknya, dan terserah pasien untuk membayar berapa jasa pak dokter. Soetomo tak mengharuskan pasien untuk membayar dengan patokan tarif tertentu, apalagi sampai memeras pasien demi memperkaya diri. Sementara fakta, Soetomo ialah alumni dari lembaga pendidikan pemerintah penjajah dengan guru-gurunya orang Belanda, sungguh jauh misalnya dengan sekarang, para dokter kita dididik oleh perguruan tinggi bangsa sendiri, dibekali dengan pelajaran moral, pancasila, agama, etika kedokteran dan macam-macam muatan kurikulum lainnya, tetapi masih saja ada oknum tertentu yang berbuat melampaui, walau kita jelas tak dapat menutup mata, betapa di negeri ini, masih melimpah banyak dokter yang betul-betul dokter bermoral. Sekedar bahan kontemplasi; ironi tadi menerbitkan kekhawatiran tersendiri di tengah kehidupan berbangsa.
Kurikulum pendidikan ala pemerintah Belanda kala itu, walau diskriminatif, namun paling tidak telah melahirkan selapis tipis kaum muda terdidik yang punya kesadaran kemanusiaan yang tinggi, generasi tadilah; hasil kurikulum penjajah berhasil mencetak orang-orang seperti Soetomo, Soekarno, Hatta, Agus Salim, Tan Malaka, Sjahrir, Muh.Yamin, Radjiman Wedyodiningrat dan masih banyak lagi kaum intelektual terdidik tercerahkan yang lahir dari model pendidikan kolonial. Jika saja kaum muda terdidik ini tak tersedia, mustahil negeri ini dapat merdeka. Kemampuan mereka mengagumkan, selain penguasaan bahasa asing yang dimiliki (Inggris, Belanda, Arab, Rusia dsb) mereka juga punya sikap sebagai negarawan yang berpikir dan bekerja ikhlas. Suatu atribut yang jarang di tanah kita, lahirnya pemimpin negeri yang bekerja serius sepenuh jiwa bagi kebaikan sesama. Atau mungkin Soekarno mulai benar dalam pleidoi (pidato pembelaan) “Indonesia Menggugat”, saat dia diadili di depan pengadilan kolonial, bahwa penjajahan bukan saja didominasi bangsa kulit putih atau orang Eropa saja, namun ia dapat pula dilakukan oleh bangsa mana saja termasuk oleh kita yang berkulit sawo matang. Selepas berpuluh-puluh tahun setelah itu, kondisi negeri seolah menjadi pembenar atas itu.
Dan mengapa pendidikan di zaman Belanda, sanggup menyumbangkan lahirnya kaum tercerahkan? Sungguh kontradiktif dengan keadaan pasca 100 tahun kebangkitan nasional, di saat lembaga pendidikan bertaburan dimana-mana, namun sungguh sukar, kita bersua dengan kaum terdidik tercerahkan.

*anggota BHC


Baca Selengkapnya......

Bau-Bau Wajib Berbenah ?


Oleh : Aslan S.Ked*
Bau-bau hendak menawarkan apa bagi wisatawan asing atau domestik yang bertandang ke daerah ini? Benteng keraton Buton, Pantai Nirwana atau apa? Kita hendak bertanya, bahwa niat untuk menarik kunjungan turis, bukan sesuatu
yang serta merta akan mendongkrak angka kunjungan. Niat saja jelas tak cukup, setidaknya ada sejumlah item mendesak dibenahi, semisal kebersihan kawasan wisata dan penataan apik secara natural telah menjadi kebutuhan penting,
Kita akan mengurut dada jika berkunjung ke lokasi seperti pantai Nirwana yang semrawut, sampah berserakan bukan saja di pinggir jalan, namun bahkan di sekitar tempat berenang, pecahan botol dan sampah plastik dll kerap dijumpai, terus tak nampak usaha pelestarian terhadap pepohonan yang tumbuh di sekitar.

Saat berada di pantai Nirwana, tak jelas, siapa pengelola pantai, sarana pendukung kompleks wisata yang mestinya ada tak tersedia, keamanan pun tak terjamin, tak sedikit di sore hari kita akan bertemu dengan orang yang pesta miras. Dengan begitu, strategi penggenjotan pembangunan wisata seperti apa yang tengah kita bangun? Sungguh para turis yang datang kehilangan berbagai momen keindahan yang dapat di abadikan sebagai kenang-kenangan. Padahal lazimnya dalam pemasaran pariwisata modern, para penyedia layanan semakin dituntut untuk menyuguhkan kenyamanan yang tak didapati di daerah lain, para wisatawan yang berkunjung bukan hanya ingin menghabiskan waktu luang saja, namun juga hendak menikmati segala yang khas dari pantai tropis di Bau-Bau, ya.. mereka ingin membeli suasana. Sama seperti ketika kelas menengah di kota besar rela membayar mahal untuk segelas kopi di café-cafe yang terletak di tengah mal atau pusat perbelanjaan kota. Mereka berani membayar mahal untuk suasana yang berbeda tadi. Trend manusia modern cenderung bergerak untuk menikmati detail dan kesempurnaan rasa, itulah alasan mengapa tak sedikit yang rela menghabiskan uang untuk hal-hal yang belum pernah atau jarang mereka saksikan.
Keprihatinan serupa terlihat pula di benteng keraton Buton, sebagai situs budaya peninggalan kesultanan Buton, menyisakan sejumlah kekhawatiran, terutama pada kegiatan renovasi yang terkesan berlebihan dan tak dibutuhkan, bagi upaya pelestarian situs sejarah yang benar-benar otentik, penambahan taman dengan aneka ragam patung, rumah-rumahan dan atribut lain pada halaman depan benteng, sepanjang jalur jalan mendaki, mulai dari lokasi ‘Jaraijo’ ke bawah hingga masuk pada pintu gerbang utama; berdampak pada kekhawatiran serius betapa, kita tanpa sadar telah merusak keaslian situs ini, parahnya lagi, aksi ini diklaim sebagai upaya untuk mempercantik benteng. Menanam pohon boleh saja, bahkan dianjurkan, namun menambahkan sejumlah bangunan yang tidak perlu justru telah mengaburkan otentisitas sejarah yang sekuat tenaga kita jaga dan pelihara.
Hal yang menimpa benteng Keraton Buton, seperti keteledoran menimbun areal dalam benteng pada beberapa titik, menimbulkan kesan bahwa tinggi tembok berkurang, atau penutupan halaman depan Mesjid Agung dengan paving blok, kawasan tiang bendera ’Kasulaana Tombi’ yang ditutupi semen, hingga pembangunan tempat parkir di sekitar Mesjid Agung, adalah tindakan yang mempertontonkan kelucuan kita dalam menjaga situs sejarah yang amat monumental ini. Mestinya sebagai peninggalan leluhur, sedapat mungkin kita jangan menambahkan sesuatu yang dapat merubah wajah aslinya. Saya pikir, ketika keaslian Benteng termasuk rumah-rumah dalam benteng diusahakan tetap terbuat dari kayu misalnya, niscaya akan menjadi magnet bagi wisatawan yang ingin menyaksikan dari dekat peninggalan sejarah tadi.

*anggota BHC


Baca Selengkapnya......