bukan hanya perawat di Jepang

bukan hanya perawat di jepang
oleh: Aslan z

Saat tsunami datang, saya naik ke lantai tiga rumah sakit, disana kami saling berpegangan tangan, perawat di samping yang asli Jepang, meratap; duh anakku.., rumahku…, bagaimana keselamatan mereka semua. Seluruh bersedih diterkam cemas. Yang mengagumkan, ketika tsunami mulai reda, perawat yang mengkhawatirkan anak dan rumahnya tadi, bergerak sigap ke lantai bawah rumah sakit untuk membantu pasien yang berada di sana, agar berpindah, naik ke lantai atas. Luar biasa, sebuah pelajaran berharga aku dapatkan dari tanggung jawab perawat di rumah sakit itu, memilih konsisten pada tugas sebagai perawat ketimbang mencari tahu bagaimana nasib anak-anaknya. Keselamatan pasien lebih utama. Betul-betul pelajaran berharga yang tak bisa diperoleh dari sekolah perawat manapun. Teladan utuh profesionalisme dan etika kerja penuh budi.

Demikian kurang lebih penuturan Rita, seorang WNI yang berprofesi sebagai perawat di sebuah rumah sakit di Jepang kepada Metro TV (acara metro siang bertajuk: Berita dari Jepang, siang tadi). Pengabdian, ketabahan dan yang paling utama adalah rasa malu telah membuat warga Jepang tak ingin merugikan siapapun yang berada di sekitar, inilah alasan sehingga tak ada penjarahan harta orang lain, walau senyatanya, itu mudah dilakukan di tengah kondisi seperti itu.

Kita pemirsa di tanah air, kagum pada kebesaran jiwa rakyat Jepang menghadapi bencana gempa bumi dan tsunami yang menelan korban jiwa dan harta benda. Terkadang memang, nilai kearifan akan merekah kala berjumpa dengan momen-momen sulit, pada peristiwa alam yang tak biasa. Orang memilih berlaku sebagai benteng penjaga kebajikan, sungguh bukan perkara mudah, sebuah sikap yang mensyaratkan pendalaman dan kesetiaan pada makna ikhlas dan berbagi.

Dengan sedikit kritis, apa benar teladan begitu hanya milik waga Jepang? Hanya ada pada perawat atau tenaga kesehatan asal Jepang? Sebegitu kurangkah perbendaharaan teladan di tengah tenaga kesehatan kita?

Saya tak begitu yakin, saya terkenang pada kisah seorang perawat/ paramedis di sebuah puskesmas di pulau Buton Sulawesi Tenggara, ia kebetulan bertugas dalam pemberantasan penyakit menular (kusta).

Seperti kita ketahui, penderita kusta relatif dijauhi oleh masyarakat, jadi momok mengerikan, rasanya bisa dihitung jari, berapa orang yang ‘berani’ mendekati pasien kusta apalagi sampai berakrab-ria. Tapi tidak bagi sang paramedis, suatu ketika, seorang penderita kusta di wilayah kerja puskesmasnya, tak berminat berobat lagi, menjauh, ia menutup diri, malu dengan kondisi tubuhnya, penampakan fisik yang nyata akibat penyakit telah membuat penduduk di kampung mengucilkan. Bukan itu saja, keluarga dekatnya pun menyingkir, ia dibuang. Orang-orang bukan sekadar takut, melainkan telah sampai, merasa jijik saat bertemu dengan si penderita. Hanya isteri penderita, setia menemani di gubuk mereka.

Walhasil apa yang dilakukan paramedis? Ia datang ke rumah itu, didapatinya pasien mengurung diri dalam kelambu. Setelah minta izin pada isteri pasien, ia pun diperbolehkan masuk ke dalam kelambu.

Pasien kaget bukan kepalang, ia bergerak menjauh ke sudut ranjang, sang paramedis menggunakan cara persuasif, namun tetap saja pasien menganggap betapa semua orang jijik padanya, kulitnya tak seperti manusia normal, dirinya lebih hina dari kotoran terbusuk, ia kehilangan percaya diri. Selang beberapa lama, paramedis menempuh cara lain, ia meminta agar isteri pasien menghidangkan makanan.

Sejurus berlalu, makanan terhidang, paramedis lalu meminta pasien agar makan, pasien menurut. Di saat pasien sedang asyik makan, si paramedis ini minta izin agar bisa makan di rumah itu. Sungguh kaget si pasien, apa berani makan di rumah saya? Apa bapak tidak jijik? Pasien memanggil isterinya agar menyiapkan makanan. Tapi sungguh tak disangka petugas itu berkata, tak usah bu, saya makan bareng bapak saja, selepas itu, ia mendekat ke piring pasien. Akhirnya, mereka makan sepiring berdua, paramedis dan pasien kusta.

Sungguh terbukti, perbuatan lebih bertenaga ketimbang kata-kata. Pasien menangis tersedu-sedu, bahwa masih ada orang yang tidak jijik padanya, sejak saat itu, ia bersedia berobat dan menemukan keberanian baru.

Masih tentang kisah paramedis tadi, ketika seorang penderita kusta yang lain, meninggal dunia, kegaduhan muncul di antara perangkat masjid, mereka saling menunjuk, sebab tak seorang berani mulai memandikan jenazah. Si paramedis kebetulan melayat, dan tanpa diminta, ia mengambil alih tugas; memandikan dan mengurus segalanya, termasuk ikut memasukkan jenazah ke liang lahat.

Kisah itu barangkali terlalu sederhana, sama seperti kisah ketegaran tenaga kesehatan yang lain, bertahan di sebuah pulau, hanya untuk mengobati kampung yang terserang diare, atau kisah seorang kawan, yang kemudian harus berakhir meninggal, dengan komplikasi malaria otak, sebab bertugas di daerah endemik malaria.

Jadi kiranya, bukan hanya perawat di Jepang yang layak memperoleh apresiasi, tapi juga perawat-perawat kita di tanah air. Dengan peralatan seadanya, gaji pas-pasan, masih mampu berbuat lebih, bagi sesama.

pernah dimuat di:www.kompasiana.com

Baca Selengkapnya......