GAIA

|

GAIA

Oleh: Aslan S.Ked

Konon bagi para astronot yang sedang bertugas di stasiun angkasa internasional (ISS: International Space Station), pengalaman paling menyentuh mereka alami, tatkala berada di samping jendela wahana luar angkasa itu, sembari melihat ke bawah, nun jauh di sana terbentang lengkung bulatan bumi dengan segenap horison, biru bumi yang aduhai indah, permai dalam detak hening, serupa perempuan anggun yang bersila di atas telaga maha luas.
Bumi kita yang memendarkan selimut cahaya di sekujurnya, bagi para astronot, sungguh pengalaman mahal dan berkesan; bukan saja karena pesona magis bumi, namun juga oleh desakan rindu pada sanak keluarga, anak, isteri/suami, kerabat yang telah ditinggalkan selama berbulan-bulan, dan ingatan pada berbagai tempat di bumi yang telah mengguratkan kenangan dalam perjalanan hidup.

Kalau saja curiga diizinkan, agaknya para astronot terpukau pada bumi, selain karena berbagai alasan tadi, jauh lebih dalam lagi; sebentuk ungkapan syukur dan terima kasih pada anugerah kehidupan yang tiada berhingga, yang telah dikecap sejak dulu. Sejenis kerinduan insani yang manifest sebagai kesadaran kolektif, bahwa dalam kagum dan rindu, pasti ada terima kasih disitu; serupa doa-doa yang dilafalkan tanpa bait tanpa kalimat.
Kenapa pula manusia tergerak untuk menjelajah angkasa, mencari tantangan baru di batas-batas terluar cakrawala, motif apa penyertanya? Ekonomi, politik, dominasi atau apa? Memang membahas motif tak begitu menarik lagi kini, apalagi bukan pada tempatnya berdiskusi tentang motif ketika manusia lain telah jauh melompati kita, tapi setidaknya ada banyak pengetahuan baru yang dihasilkan ketika proses “hijrah” dilakukan. Dahulu manusia bangkit dengan penjelajahan samudera untuk mencari daerah dan koloni baru, lalu dari situ kemajuan semakin tak terelakkan sebagai hasil dari pertemuan berbagai budaya dan semangat. Prinsip dasarnya ialah memulai hal baru sungguh tak mudah, tantangan tertebar dan resiko gagal mengintai.
Kembali pada kisah astronot dan bumi, dalam tradisi Yunani, Bumi kita disebut dewi ‘Gaia” atau kemudian dilidahkan sebagai Geo, Gaea; dipandang merupakan mahluk hidup, bukan mahluk tak hidup. Kata mahluk hidup yang dimaksud dan hendak ditafsirkan, jauh melampaui pengertian sempit yang dilekatkan oleh ilmu hayati (dengan sejumlah ciri mahluk hidup; makan, minum, bernapas dsb), namun lebih dimaksudkan Gaia yang berproses menyempurna sebagai media tumbuh bagi mahluk lain di atasnya, dengan sejumlah prosedur kerja yang belum tuntas dipahami manusia. Bumi biru kita mempunyai mekanisme tersendiri untuk bekerja dan berproses. Manusia yang berdiam di atas tanahnya, hanya satu dari sekian banyak bentuk-bentuk kehidupan lain; mulai dari dinosaurus, pepohonan hingga jasad renik yang tak kuasa diamati dengan mata telanjang. Bumi adalah rumah yang menyediakan segala kebutuhan apapun diatasnya, Bumi menafkahi semuanya.
Bumi atau Gaia adalah Ibu bagi apapun di dalamnya dan segenap material yang setiap detik berlomba datang ke atmosfer kita. Gaia memiliki mekanisme ‘penyembuhan’ tersendiri ketika ada ketidakseimbangan, kata kunci yang membuat ia tetap eksis ialah harmoni dan kesabaran.
Setiap interupsi Disharmoni akan direspon dengan berbagi cara, yang hingga kini belum juga dipahami utuh oleh manusia. Kita dapat menyebut contoh, semburan Lumpur lapindo, atau pertanyaan menggelitik seperti, kenapa setelah SBY jadi presiden, negara ini didera bencana tak berputus? Dalam kajian holistik, bencana tak berawal dan berhenti hanya sebagai bencana belaka, ia niscaya memiliki jejaring yang terkait dengan perilaku manusia, hewan dsb, termasuk pula karakter kepemimpinan yang menjadi panutan. Entah apa sebenarnya yang tengah terjadi di sini, rumit diuraikan dengan satu dua kalimat.
Menengok pada kedirian kita, ternyata jauh sebelum mantan wapres AS, Al Gore membuat film dokumenter ‘incovenient truth’ yang berkisah, bahaya dari pola hidup manusia/ masyarakat yang mengancam keselamatan planet Bumi, atau jauh sebelum aktifis lingkungan hidup berteriak, neraka yang mengintip dari pemanasan global. Para leluhur kita telah menitipkan bermacam nilai dan ajaran hidup, semisal di pulau Buton, ada penetapan kawasan Hutan lambusango sebagai “Hutan Kaombo” atau hutan keramat, dimana telah dilindungi sejumlah mantra/ doa atau perlakuan tertentu, yang jika coba dilanggar dapat berakibat fatal mulai dari jatuh sakit hingga meninggal dunia, ini menyebabkan masyarakat sekitar, tak berani menebang sesukanya tanpa seizin Sultan, apalagi sampai merusak kelestarian hutan. Di daerah lain di Indonesia, banyak hal serupa, seperti penetapan wilayah tertentu oleh penguasa lokal, sebagai kawasan hutan lindung dsb. Mungkin yang kita butuh kini, adalah kesediaan untuk menoreh tafsir baru atas berbagai kearifan lokal.
Peristiwa melelehnya es di kutub baru-baru ini, tak lepas dari kebiasaan buruk mahasiswa, katakanlah seperti membakar ban bekas kala demonstrasi, turut memberi andil bagi polusi dan pemanasan global. 

0 komentar: