WASPADAI ABORSI

|


BANYAKNYA perempuan yang melakukan praktek aborsi yang tidak aman karena masyarakat masih memandang persoalan aborsi sebagai peroalan moralitas dan kriminalitas semata. Kematian seorang ibu yang melakukan aborsi di Indonesia cukup tinggi. Data menunjukkan sebanyak 307 ibu meninggal dari 100.000 angka kelahiran. Sebanyak 50 persen diakibatkan karena praktek aborsi yang tidak aman.
Demikian juga dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004, ketentuan mengenai aborsi belum sepenuhnya ditempatkan sebagai isu kesehatan. Koordinator Jaringan Kerja Prolegras Pro Perempuan (JKP3) Ratna Batar Munti mengatakan selama ini, hak-hak kaum perempuan dan marginal masih terpinggirkan. Pengaturan UU Kesehatan belum merespon tingginya angka kematian ibu saat melakukan aborsi.


KUHP dan UU Kesehatan saat ini membuat perempuan yang melakukan aborsi rentan dianggap sebagai pelaku kejahatan. "Padahal mereka hanya menginginkan hak-hak kesehatan mereka. Itu harus diakomodir karena merupakan bagian dari hak asasi manusia," ujar Ratna sebelum membuka acara lokakarya Mendorong Segera Disahkannya RUU Kesehatan Dengan Perspektif HAM di Hotel Ibis, Jakarta, pada Selasa (8/4).
Untuk itu, JKP3 berusaha memperjuangkan diakomodasikannya aborsi sebagai bagian dari persoalan kesehatan reproduksi. Aborsi harus dilihat sebagai isu kesehatan yang harus dapat diakses dan dipenuhi oleh negara."Harus ada kepastian hukum yang mengatur hal itu guna menghundari makin banyaknya ibu yang meninggal akibat melakukan aborsi yang tidak sehat," ujarnya.

Sekitar 87 persen tindakan aborsi yang terjadi di Indonesia dilakukan wanita bersuami dan hanya 13 persen yang dilakukan wanita belum menikah.


"Selama ini ada anggapan yang salah di masyarakat bahwa aborsi lebih banyak dilakukan remaja yang hamil diluar nikah," kata Guru Besar Universitas Yarsi Jakarta, Prof. Dr. Jurnalis Uddin seperti dikutip Antara di Medan, Minggu (2/3).

Ia mengatakan, dalam penelitian yang dilakukan Yayasan Kesehatan Wanita (YPK) Jakarta di sembilan kota besar seperti Medan, Jakarta, Batam, Bandung,Yogyakarta, Surabaya, Denpasar, Mataram dan Manado menunjukkan dari 1.446 responden ternyata 87 persen yang melakukan aborsi statusnya menikah.

Dalam makalah yang disampaikannya pada seminar "Reinterpretasi Hukum Islam Tentang Aborsi dan Fatwa MUI No. 4 tahun 2005 Tentang Aborsi" di Medan, akhir pekan lalu itu ia menyebutkan ada beberapa alasan penyebab tingginya angka aborsi pada kalangan wanita yang berstatus menikah.

Diantaranya karena alasan gangguan kesehatan fisik yang cukup berat pada sang ibu seperti kanker stadium lanjut, TBC dengan Caverna dan HIV/AIDS. Kemudian juga karena gangguan kesehatan jiwa berat seperti skozofren dan retardasi mental.

Sebab lain, kata dia, adalah karena janin dideteksi akan cacat genetik yang kalau lahir tidak dapat disembuhkan serta hamil karena perkosaan yang berakibat gangguan fisik dan jiwa berat seumur hidup.

"Hamil karena incest yang merupakan aib tak tertahankan seumur hidup serta alasan sosial ekonomi seperti kehamilan yang terlalu rapat juga menjadi sebab lain tingginya angka aborsi pada wanita berstatus menikah di Indonesia," katanya.



Aborsi tidak aman
Penghentian kehamilan (aborsi) yang tidak aman akibat kehamilan tidak diinginkan meningkatkan risiko kematian pada ibu. Oleh karena itu, pelayanan kesehatan reproduksi pada perempuan berbasis konseling perlu diberikan untuk mengatasi masalah tersebut.
Badan Kesehatan Dunia (WHO) memperkirakan, dari 200 juta kehamilan per tahun, dan 38 persen di antaranya merupakan kehamilan tak diinginkan (KTD). Situasi ini memicu tingginya angka kematian ibu akibat terjadinya komplikasi berupa perdarahan dan infeksi.
Menurut Ketua Yayasan Kesehatan Perempuan Tini Hadad, dalam pelatihan kesehatan reproduksi bagi jurnalis, Jumat (15/2), di Jakarta, penyebab utama kehamilan tidak diinginkan adalah kegagalan kontrasepsi dan tidak menggunakan alat kontrasepsi saat berhubungan intim.
Menurut WHO, dua pertiga perempuan di dunia yang mengalami KTD berakhir dengan penghentian kehamilan disengaja, dan 40 persen di antaranya dilakukan secara tidak aman. Mayoritas aborsi tidak aman terjadi di negara berkembang dan menyum bang sekitar 50 persen dari seluruh kematian ibu akibat komplikasi berupa infeksi dan perdarahan.
Terkait hal itu, pada Konferensi Internasional Kependudukan dan Pemban gunan (ICPD) di Kairo tahun 1994, penghentian kehamilan tidak aman diidentifikasikan sebagai masalah kesehatan masyarakat. Oleh karena itu, negara berkewajiban melindungi perempuan dari kematian akibat penghentian kehamilan tidak aman.
Sejauh ini, masalah aborsi tidak aman dinilai belum ditanggapi secara serius oleh pemerintah. Meski tindakan penghentian kehamilan dilarang menurut hukum Indonesia, banyak perempuan tetap mencari layanan aborsi tanpa mempedulikan apakah layanan itu diberikan secara aman dan memenuhi standar medis. Hal ini menghadapkan perempuan pada risiko kematian dan kesakitan akibat komplikasi berupa infeksi dan perdarahan, ujarnya.
Di Indonesia, Survei Demografi Kesehatan Indonesia tahun 1997 memperkirakan 12 persen kehamilan akan berakhir dengan aborsi. Studi terbaru yang dilakukan Utomo dkk (2001) memperkirakan insiden aborsi per tahun 2 juta atau 43 aborsi per 100 kehamilan. Jika masalah kehamilan tidak diinginkan ini tidak segera diatasi, maka angka kematian ibu dan bayi di Indonesia akan sulit ditekan, kata Tini Hadad menambahkan.
Menyediakan Pelayanan Aborsi Legal dalam Keterbatasan Hukum
Hukum di 131 negara berkembang mengizinkan tindak aborsi dilakukan dengan pertimbangan keadaan tertentu, mulai dari pertimbangan sosial dan ekonomi sampai dengan pertimbangan yuridis. Kebanyakan negara tersebut mengizinkan aborsi untuk menyelamatkan kehidupan dari perempuan hamil, dan 50 negara di antaranya membolehkan aborsi akibat perkosaan atau incest. Begitu juga halnya di negara dengan hukum yang lebih ketat, di mana kebanyakan perempuan tidak dapat menemukan alasan kesehatan masyarakat yang mampu menyediakan pelayanan aborsi, walaupun mereka memenuhi syarat untuk menjalani aborsi.
Artikel ini tidak bertujuan untuk menimbulkan debat mengenai kondisi yang bagaimana aborsi seharusnya menjadi legal. Berikut ini langkah praktis yang dapat diambil untuk menyediakan pelayanan aborsi legal di rumah sakit (RS):
1. Membangun dukungan masyarakat untuk pelayanan aborsi legal
Jelaskan alasan menyediakan pelayanan aborsi legal pada kelompok yang berkepentingan seperti tenaga kesehatan, pembuat kebijakan, aktivis perempuan, dan kelompok relijius. Kumpulkan data tentang aborsi tidak aman, kekerasan seksual dan kebutuhan akan pelayanan aborsi. Semua hasil diskusi disajikan dalam informasi yang jelas dan padat untuk membuat peka mereka yang bertanggung jawab secara langsung dalam menyediakan atau mempromosikan pelayanan kesehatan dan membuat mereka mengenal masalah ini. Selain itu juga perlu diadakan lokakarya untuk identifikasi penyimpangan dari penyajian data tentang prevalensi kekerasan seksual dan kebutuhan potensial untuk pelayanan yang mungkin berguna dalam membentuk dukungan untuk aborsi legal. Selanjutnya koordinasi dengan kelompok perempuan yang berfokus pada kekerasan dan isu relevan lainnya untuk menjelaskan besarnya masalah dan kebutuhan pelayanan.
2. Mengembangkan peraturan lokal yang memungkinkan penerapan hukum nasional
Jika hukum nasional terkesan masih samar mengenai hal-hal yang diperlukan dalam menyediakan pelayanan aborsi, dapat bekerjasama dengan Departemen Kesehatan untuk membuat protokol.
3. Meminta dukungan dari Departemen Kesehatan dan kelompok profesional
Jika RS di mana akan dikembangkan pelayanan aborsi dimiliki oleh swasta/PMA, buat hubungan kerjasama dengan pemilik RS itu dengan menggunakan pendekatan administratif. Fokuskan pada bagaimana menerapkan hukum yang ada daripada memperdebatkan nilai aborsi.
4. Membentuk tim di fasilitas kesehatan
Bertemu dengan direktur RS, komite etik, bagian kebidanan dan kandungan, perawat, pekerja sosial dan komite kematian ibu. Buatlah mereka menjadi peka dengan masalah ini, diskusikan keuntungan dan kerugian program aborsi legal, bentuk tim, buat pekerjaan rutin baru berdasarkan kasus yang diantisipasi. Libatkan staf dalam menemukan cara untuk membuat program berjalan.
5. Jika hukum dibutuhkan, bentuk komite aborsi dalam RS
Jika komite dibutuhkan, buatlah dengan melibatkan multidisipliner yang memungkinkan kelompok menyekesaikan masalah medis dan legalitas dari setiap kasus. Jangan sampai membuat komite itu menjadi kompleks dan birokratis yang akan menghambat pelayanan.
6. Membangun protokol RS untuk dapat menjalankan aborsi legal
Pertimbangkan aliran pasien, masalah staf dan administrasi RS yang berhubungan dengan pelayanan baru. Protokol dapat terdiri dari langkah-langkah penilaian klinis awal dari kehamilan, pertimbangan kasus dari komite RS, menjadwalkan prosedur, konseling dengan klien untuk mendiskusikan informed consent untuk prosedur dan menjawab pertanyaan mengenai teknik apa yang akan digunakan, masa rawat inap, risiko dibius, dsb.
7. Melatih tim yang terdiri dari para profesional untuk pelayanan komprehensif
Yakinkan bahwa tim ini akan siap untuk merespon kebutuhan yang bervariasi, termasuk konseling sebelum, selama dan setelah aborsi, menawarkan kontrasepsi darurat pada perempuan yang datang ke RS dalam 72 jam setelah diperkosa untuk mencegah kehamilan tidak diinginkan, menyediakan rujukan untuk pelayanan kontrasepsi, membentuk lingkungan yang menekankan pentingnya penghargaan dan kerahasiaan, meyakinkan bahwa peralatan medis tersedia setiap saat dan menggunakan teknologi yang paling tepat untuk melaksanakan aborsi. Pada usia kehamilan yang sudah tua atau tidak memenuhi syarat untuk dilakukan aborsi, buat system rujukan untuk perawatan kehamilan dan pelayanan lainnya. Harus ada jaminan bahwa mereka akan mendapatkan perawatan lanjutan yang dibutuhkan.
8. Mengumpulkan dan menggunakan data statistik untuk evaluasi pelayanan
Buatlah evaluasi sebagai bagian dari standar pelayanan aborsi legal dan mengumpulkan statistik dari variabel kunci yaitu umur, suku, dan status kawin; hubungan dengan pelaku kekerasan atau perkosaan; umur kehamilan; jumlah dan jenis prosedur komplikasi. Kajilah statistik secara periodik dan buat perubahan yang tepat dalam pelayanan untuk memenuhi kebutuhan pasien.
9. Menyebarkan informasi tentang pelayanan
Publikasikan adanya pelayanan aborsi kepada masyarakat di wilayah tersebut. Bentuklah hubungan dengan kelompok perempuan, polisi, puskesmas dan pihak lainnya untuk menginformasikan mereka akan ketersediaan pelayanan aborsi legal. Mintalah bantuan mereka untuk memberikan rujukan pada perempuan yang membutuhkan pelayanan tersebut. Yakinkan bahwa mereka mengetahui bentuk dan prosedur yang dibutuhkan perempuan agar memenuhi syarat untuk mendapatkan aborsi legal.
Aborsi ditinjau dari Tiga Sudut Pandang


Aborsi tetap menjadi masalah kontroversial, tidak saja dari sudut pandang kesehatan, tetapi juga sudut pandang hukum dan agama. Artikel berikut ini bertujuan untuk mengupas masalah aborsi ditinjau dari ketiga sudut pandang tersebut serta
perkembangan terakhir dalam rangka mewujudkan aborsi aman di Indonesia.

A. Sudut pandang kesehatan

Abortus adalah berakhirnya suatu kehamilan (oleh akibat-akibat tertentu) sebelum buah kehamilan tersebut mampu untuk
hidup di luar kandungan. Abortus dibagi menjadi dua, yaitu abortus spontan dan abortus buatan. Abortus spontan adalah
abortus yang terjadi secara alamiah tanpa adanya upaya-upaya dari luar (buatan) untuk mengakhiri kehamilan tersebut.
Dalam beberapa kepustakaan, terminologi yang paling sering digunakan untuk hal ini adalah keguguran (miscarriage).
Sedangkan abortus buatan adalah abortus yang terjadi akibat adanya upaya-upaya tertentu untuk mengakhiri proses
kehamilan. Istilah yang sering digunakan untuk peristiwa ini adalah aborsi, pengguguran, atau abortus provokatus. Dalam
artikel ini istilah yang digunakan dalam konteks ini adalah aborsi. Aborsi biasanya dilakukan atas indikasi medis yang
berkaitan dengan ancaman keselamatan jiwa atau adanya gangguan kesehatan yang berat pada ibu, misalnya tuberkulosis paru berat, asma, diabetes melitus, gagal ginjal, hipertensi, penyakit hati menahun (JNPK-KR, 1999).

Aborsi merupakan masalah kesehatan masyarakat karena memberikan dampak pada kesakitan dan kematian ibu.
Sebagaimana diketahui penyebab utama kematian ibu hamil dan melahirkan adalah perdarahan, infeksi dan eklampsia.
Namun sebenarnya aborsi juga merupakan penyebab kematian ibu, hanya saja muncul dalam bentuk komplikasi perdarahan dan sepsis (Gunawan, 2000). Akan tetapi, kematian ibu yang disebabkan komplikasi aborsi sering tidak muncul dalam laporan kematian, tetapi dilaporkan sebagai perdarahan atau sepsis. Hal itu terjadi karena hingga saat ini aborsi masih merupakan masalah kontroversial di masyarakat. Di satu pihak aborsi dianggap ilegal dan dilarang oleh agama sehingga masyarakat cenderung menyembunyikan kejadian aborsi, di lain pihak aborsi terjadi di masyarakat. Ini terbukti dari berita yang ditulis di surat kabar tentang terjadinya aborsi di masyarakat, selain dengan mu-dahnya didapatkan jamu dan obat-obatan peluntur serta dukun pijat untuk mereka yang terlambat datang bulan (Wijono, 2000).

Tidak ada data yang pasti tentang besarnya dampak aborsi terhadap kesehatan ibu, WHO memperkirakan 10-50% kematian ibu disebabkan oleh aborsi tergantung kondisi masing-masing negara. Diperkirakan di seluruh dunia setiap tahun dilakukan 20 juta aborsi tidak aman, 70.000 wanita mening-gal akibat aborsi tidak aman dan 1 dari 8 kematian ibu disebab-kan oleh aborsi tidak aman. Di wilayah Asia tenggara, WHO memperkirakan 4,2 juta aborsi dilakukan setiap tahunnya, di antaranya 750.000 sampai 1,5 juta terjadi di Indonesia. Risiko kematian akibat aborsi tidak aman di wilayah Asia diperkirakan antara 1 dari 250, negara maju hanya 1 dari 3700. Angka tersebut memberikan gambaran bahwa masalah aborsi di Indonesia masih cukup besar (Wijono, 2000).

Padahal, Konferensi Internasional Kependudukan dan Pembangunan (International Conference on Population and
Development/ICPD) di Kairo tahun 1994 dan Konferensi Wanita di Beijing tahun 1995 menyepakati bahwa akses pada
pelayanan aborsi yang aman merupakan bagian dari hak perempuan untuk hidup, hak perempuan untuk menerima standar pelayanan kesehatan yang tertinggi dan hak untuk memanfaatkan kemajuan teknologi kesehatan dan informasi. Dengan demikian, diperlukan perlindungan hukum dalam menyelenggarakan pelayanan aborsi yang aman untuk menjamin hak perempuan dalam menentukan fungsi reproduksi dan peran reproduksi tubuhnya sendiri. Penelitian menunjukkan bahwa dilegalkannya aborsi aman di sebuah negara justru berperan dalam menurunkan angka kejadian aborsi itu sendiri mungkin salah satunya karena efektivitas konseling pasca aborsi yang mewajibkan pemakaian kontrasepsi bagi mereka yang masih aktif seksual namun tidak ingin mempunyai anak untuk jangka waktu tertentu. Selain itu juga ditunjang oleh efektivitas alat kontrasepsi itu sendiri yang hampir mencapai 100 persen sehingga mengurangi angka kehamilan tidak diinginkan yang berakhir pada tindak aborsi.

Held dan Adriaansz sebagaimana dikutip dari Wijono (2000), mengemukakan hasil meta analisis tentang kelompok risiko tinggi terhadap kehamilan yang tidak direncanakan dan aborsi tidak aman berdasarkan persentasenya, yaitu:
1) kelompok unmet need dan kegagalan kontrasepsi (48%); 2) kelompok remaja (27%); 3) kelompok praktisi seks komersial; 4) kelompok korban perkosaan, incest dan perbudakan seksual (9%). Dengan demikian dapat diambil kesimpulan bahwa ternyata kelompok unmet need dan gagal KB merupakan kelompok terbesar yang mengalami kehamilan tidak direncanakan sehingga konseling kontrasepsi merupakan salah syarat mutlak untuk dapat mengurangi kejadian aborsi, terutama aborsi berulang, selain faktor lainnya.
Konseling kontrasepsi bertujuan untuk membantu klien memilih salah satu kontrasepsi yang sesuai bagi mereka, dalam
kaitannya dengan risiko fungsi reproduksi dan peningkatan kualitas kesehatan (JNPK-KR, 1999). Pada intinya, konseling ini akan memberi informasi bagi klien tentang: 1) Kemungkinan menjadi hamil sebelum datangnya menstruasi berikut, 2) Adanya berbagai metode kontrasepsi yang aman dan efektif untuk mencegah atau menunda kehamilan, 3) Di mana dan bagaimana mereka mendapatkan pelayanan dan alat kontrasepsi.

Konseling merupakan proses penting dalam pelayanan alat kontrasepsi karena:
- Pemilihan metode kontrasepsi ditentukan setelah melalui serangkaian pemberian informasi dan memperhatikan berbagai
aspek reproduktif
- Penentuan pilihan harus mempertim-bangkan aspek kesehatan dan keinginan klien
- Pilihan metode kontrasepsi berdasarkan keamanan dan efektivitas
- Penerimaan makin baik dengan semakin dipahaminya kerja alat tersebut
- Kepuasan klien menjamin kesinambungan penggunaan alat kontrasepsi

Konseling kontrasepsi sesudah aborsi merupakan syarat mutlak agar dapat mencegah kehamilan tidak diinginkan berikutnya yang pada akhirnya mencegah aborsi. Tujuan dari konseling kontrasepsi sesudah aborsi adalah:
- Membantu pasien untuk memahami faktor-faktor yang berkaitan dengan terjadinya kehamilan yang tidak dikehendaki
(jika memang ternyata demikian) sehingga dapat menghindar-kan terjadinya hal serupa di masa datang.
- Membantu pasien dan keluarganya untuk menentukan apalah mereka memang alat kontrasepsi
- Membantu memilihkan salah satu metode yang sesuai dengan keinginan pasien, apabila mereka membutuhkannya
- Membantu pasien untuk meng-gunakan alat kontrasepsi secara efektif

B.Sudutpandanghukum

Menurut Sumapraja dalam Simposium Masalah Aborsi di Indonesia yang diadakan di Jakarta pada tanggal 1 April 2000
menyatakan adanya terjadinya kontradiksi dari isi Undang-undang No. 23/1992 pasal 15 ayat 1 sebagai berikut.

"Dalam keadaan darurat sebagai upaya untuk menyelamatkan jiwa ibu hamil dan atau janinnya* dapat dilakukan tindakan medis tertentu**."

Hal yang dapat dijelaskan dari isi Undang-undang tersebut adalah:

*) kalimat untuk menyelamatkan jiwa ibu hamil dan atau janinnya merupakan pernyataan cacat hukum karena kalimat
tersebut sepertinya menjelaskan bahwa pengguguran kandungan diartikan sebagai upaya menyelamatkan jiwa ibu dan atau janinnya. Padahal, pengguguran kandungan tidak pernah diartikan sebagai upaya untuk menyelamatkan janin, malah
sebaliknya.

**) penjelasan Pasal 15: "Tindakan medis dalam bentuk pengguguran kandungan dengan alasan apapun, dilarang karena
bertentangan dengan norma hukum, norma agama, norma kesusilaan, dan norma kesopanan. Namun dalam keadaan darurat sebagai upaya menyelamatkan jiwa ibu dan atau janin yang dikandungnya dapat diambil tindakan medis tertentu. Dengan demikian dapat diambil kesimpulan bahwa dasar hukum tindakan aborsi yang cacat hukum dan tidak jelas itu menjadikan tenaga kesehatan yang memberikan pelayanan aborsi rentan di mata hukum.

C.Sudutpandangagama

Ada berbagai pendapat ulama Islam mengenai masalah aborsi ini. Sebagian berpendapat bahwa aborsi yang dilakukan
sebelum 120 hari hukumnya haram dan sebagian lagi berpendapat boleh. Batasan 120 hari dipakai sebagai tolok ukur
boleh-tidaknya aborsi dilakukan mengingat sebelum 120 hari janin belum ditiupkan ruhnya yang berarti belum bernyawa. Dari ulama yang berpendapat boleh beralasan jika setelah didiagnosis oleh dokter ahli kebidanan dan kandungan ternyata apabila kehamilan diteruskan maka akan membahayakan keselamatan ibu, maka aborsi diperbolehkan. Bahkan bisa menjadi wajib jika memang tidak ada alternatif lain selain aborsi. Dengan demikian, apabila dari sudut pandang agama saja aborsi diperbolehkan dengan alasan kuat seperti indikasi medis, maka sudah sepatutnyalah apabila landasan hukum aborsi diperkuat sehingga tidak ada keraguan dan kecemasan pada tenaga kesehatan yang berkompeten melakukannya.

D. Upaya yang dilakukan saat ini

Berbagai upaya telah dicoba untuk dilakukan sejak beberapa tahun yang lalu. Salah satu upaya yang telah dilakukan oleh
Forum Kesehatan Perempuan (FKP) yang terdiri dari aktivis lembaga swadaya masyarakat (LSM), praktisi hukum, peneliti senior, pengurus/anggota organisasi profesi adalah dengan mengadakan pertemuan intens yang bertujuan akhir untuk mengamandemen Undang-undang Ke-sehatan Nomor 23 tahun 1992 pasal 15. Sementara itu untuk mencapai tujuan akhir tersebut, upaya saat ini difokuskan untuk menyusun Surat Keputusan Menteri Kesehatan (SK Menkes) tentang batasan pelayanan aborsi yang aman dengan memasukkan kriteria, yaitu antara lain:

1) usia kandungan dibawah 12 minggu
2) di rumah sakit yang ditunjuk
3) oleh dokter yang bersertifikat
4) konseling pra dan pasca aborsi
5) biaya yang terjangkau

Tujuan khususnya antara lain menghimpun dan menampung pendapat khalayak dari berbagai pihak tentang masalah aborsi, menentukan isi SK Menkes tentang pelayanan aborsi yang aman serta menyusun, menyepakati dan melakukan proses penerbitan SK tersebut.

Salah satu upaya FKP dalam menghimpun dan menampung pendapat khalayak dari berbagai pihak mengenai aborsi
dilakukan melalui jajak pendapat yang dilakukan sebanyak dua kali oleh instansi yang berbeda selama bulan Desember
2000. Jajak pendapat yang dilakukan Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia bekerja sama dengan Mitra Perempuan, Ford Foundation, Fenomena, Universitas Atmajaya dan Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia pada 600 responden yang ditelepon secara acak berdasarkan buku telepon di lima wilayah di DKI Jakarta, menunjukkan 83,5 persen responden perempuan dan laki-laki setuju jika keputusan secara medis dan psikologis mengenai aborsi ditentukan oleh dokter, melalui proses konseling dengan pasien. Sebesar 85,11 persen dari mereka yang setuju adalah perempuan yang menikah. Jajak pendapat lainnya yang dilakukan Population Council, Yayasan Mitra Inti dan Pusat Penelitian Kesehatan Universitas Indonesia terhadap 159 responden menemukan sebesar 78 persen responden menyetujui perlunya mengurangi risiko penyebab kematian akibat aborsi yang tidak aman dan 85 persen menyetujui keputusan aborsi ditentukan bersama melalui proses konseling. Kemudian sebesar 55 persen menyatakan perlunya disediakan tempat aborsi yang resmi, aman dengan standar pelayanan berkualitas.
Diolah dari berbagai sumber.




0 komentar: